WISATA HUTAN KERA NEPA
Obyek wisata Hutan Kera Nepa
terletak di desa Nepa, Kecamatan. Banyuates dari pusat kota ke arah utara
jurusan Sampang- Ketapang-Banyuates dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat
sejauh + 50 km dan dilanjutkan dengan kendaraan bermotor sejauh 1 km
untuk masuk ke hutan karena kondisi jalan masuk yang masih sempit.
Merupakan suatu keindahan
tersendiri yang ditawarkan kawasan objek wisata Hutan Kera Nepa, wisatawan akan
dituntun untuk melihat pemandangan alam sekitar pantai dan lautan lepas,
melihat matahari terbit (sunrise), menyusuri sungai dan hutan cagar
alam seluas 1 Ha dengan perahu nelayan untuk melihat pemandangan hutan
mangroove dan melihat satwa kera pada habitatnya.
Keunikan lain yang bisa dilihat
dan dibuktikan para wisatawan adalah perilaku kera dikawasan hutan yang jinak
dan mereka merupakan kera pemakan jagung tua mentah, dihutan ini terdapat dua
kelompok kera yang menempati dua bagian dari kawasan hutan yaitu sebelah utara
dan selatan yang dibatasi dengan sebuah kayu yang dianggap sebagai tugu
perbatasan, masing masing kelompok kera tidak akan mau menyebrangi/melewati
daerah perbatasan tersebut kecuali ada kera yang sakit atau membutuhkan pertolongan
untuk melahirkan. Terkait dengan mitos yang ada dari masyarakat sekitar, hutan
ini merupakan tempat berpijaknya manusia pertama kali yang babat alas pulau
madura bernama Bindoro Gong (pada abad XII-IX).
Bindoro Gong merupakan pendatang
yang mendirikan kerajaan pertama kali di madura dan mewariskan kerajaannya
kepada putranya bernama Raden Segoro (yang dimakamkan di tengah hutan dengan
penanda/ nisan berupa kayu pohon) karena Raden Segoro tidak mempunyai ahli
waris maka sebelum meninggal dia menunjuk seorang pemimpin untuk
menggantikannya. Karena merasa tidak puas dengan pemimpin yang baru maka kedua
kelompok rakyat pun sering bertikai, Raden Praseno bersedih melihat hal ini dan
akhirnya beliau membagi wilayah tersebut menjadi dua bagian,
Tapi dasar sifat manuasia yang selalu kurang puas
dengan apa yang didapatkannya mereka masih sering bertikai antara kelompok satu
dengan yang lainya dan pada akhirnya membuat dewata marah dan mengutuk mereka
menjadi monyet dan memberi penanda diantara batas wilayah tersebut dengan patok
kayu (pohon) dan barang siapa melanggar batas kayu tersebut akan mendapat
kutukan bertubi tubi kecuali yang melanggar untuk saling memberi pertolongan
dan pengobatan (kera yang sakit dan akan melahirkan).
0 komentar:
Posting Komentar