PAGAR BATU
Dapat dikatakan ia buta sejak lahir. Tapi sebenarnya,
ketika lahir ke dunia, matanya masih normal. Namun di malam pertama ia tidur,
sesuatu yang entah apa, mencuri matanya. Hingga pagi-pagi saat orangtuanya
bangun, mendapati bayinya sedang menangis dengan lubang mata yang kosong!
Orang-orang selalu merasa kasihan padanya. Tapi
sebenarnya ia tak perlu dikasihani. Lepas dari dirinya yang tak bisa melihat,
ia memiliki kelebihan yang tak dimiliki manusia lain. Kedua tangannya mampu
menaklukkan batu-batu. Apa pun jenis batu yang dipegangnya, akan kehilangan
massa, seakan-akan menyerah padanya. Ia mudah mengangkat batu-batu itu. Maka,
setelah dewasa, ia memilih menjadi tukang batu.
Hidupnya nyaris tak bergejolak. Ia menikah dengan
perempuan yang baik hati. Tak lama kemudian, ia memiliki dua anak. Satu
laki-laki dan satu perempuan. Sampai umurnya mencapai 40 tahun, tak ada
kejadian apa pun yang menimpanya.
Sampai suatu hari ia merasakan sesuatu berdenyut di
kedua tangannya. Ia bertanya-tanya, ada apa dengan tangannya? Saat itu ia
sedang berada di rumah salah satu kawannya, dan kawannya itu memperkenalkan
salah satu saudara jauhnya. Saat itulah ia merasakan hawa panas. Saat saudara
jauh kawannya itu menjabatnya, tangannya serasa terbakar. Sampai di rumah ia
terus berpikir.
Ia tahu, saat itu bumi memang masih terbagi dua.
Manusia yang baik dan manusia yang buruk dipisahkan oleh samudra yang mahaluas.
Sang Pencipta meletakkan hati dengan jenis yang berbeda pada manusia di utara
dan di selatan. Ia meletakkan hati yang baik di manusia-manusia yang ada di
sebelah utara dan untuk manusia-manusia di sebelah selatan, Ia meletakkan hati
yang buruk.
Sampai ratusan tahun kehidupan ini bergerak bagai
putaran bumi ke matahari. Tak ada sesuatu yang terjadi. Tapi, tanpa ada yang
menyadarinya, di dasar bumi paling dalam, semuanya tak henti bergerak. Kerak
bumi membuat gerakan yang nyaris tak terasa. Tapi itulah yang membuat daratan
di sebelah utara dan selatan lama-lama bertemu.
Laki-laki buta itu menebak-nebak. Selama ini, ia
selalu merasakan hawa sejuk di setiap manusia yang ditemuinya. Istrinya,
anak-anaknya, juga para tetangganya. Tangannya sama sekali tak bereaksi
apa-apa. Namun sejak pertemuan dengan saudara jauh dari kawannya itu, semuanya
sepertinya berubah. Tak lagi hawa sejuk yang dirasakannya, kedua telapak
tangannya kerap terasa panas saat bertemu dengan orang-orang asing.
Satu kali ia mencoba menanyakan dari mana
orang-orang asing itu berasal. Dan, jawaban orang-orang asing itu membuatnya
tercekat.
Seluruhnya berasal dari selatan!
***
Ia mengeluh dalam hati. Apakah daratan yang mulai
menyatu ini membuat orang-orang baik dan buruk tak lagi terpisah?
Bagaimanapun juga ia suka kehidupannya di utara. Di
sini kehidupan berlangsung lebih baik. Hanya ada kedamaian. Semua orang saling
menebar kasih sayang. Tak ada pengemis yang terlunta-lunta. Setiap orang akan
berlomba-lomba untuk membantunya, seakan-akan ia orang yang istimewa.
Sepanjang hidupnya di sini, tak pernah ada
kejahatan. Bahkan di kamus milik anak laki-lakinya, ia tak menemukan sebuah
kata pun yang berhubungan dengan kata: jahat, atau hal-hal yang berkaitan
dengan itu.
Tapi ia tahu, situasi damai seperti ini tak
berlangsung di selatan. Di sana, segala keburukan terjadi setiap saat. Perang,
penyiksaan, pembunuhan. Orang-orang di utara selalu menyebutnya, di sana adalah
neraka. Dan kini, tanpa disadarinya, orang-orang di selatan mulai berdatangan
satu demi satu ke utara. Kebaikan seakan mulai berkelindan dengan keburukan.
Awalnya laki-laki buta itu mencoba tak berpikir
terlalu dalam soal ini. Toh, ada orang-orang yang seharusnya lebih pantas
memikirkannya. Tapi saat sebuah pencurian terjadi di sekitarnya, disusul
perampokan yang kejam, hatinya mulai tergugah. Terlebih saat anak laki-lakinya
menjadi korban pembunuhan. Ia benar-benar tak lagi bisa berdiam diri. Ia tahu,
anaknya adalah anak yang baik hati. Hatinya seperti terbuat dari kain sutra.
Halus dan indah. Ia rela menengadahkan tangannya sampai berjam-jam untuk
sekadar memberi makan burung-burung merpati liar.
“Aku harus melakukan sesuatu,” gumannya.
Istrinya, yang juga amat bersedih, hanya mengangguk
setuju dengan apa yang akan dilakukannya, termasuk anak perempuannya yang
tersisa.
Laki-laki buta itu kemudian berpikir untuk membuat
batas antara bagian utara dan bagian selatan. Ia bisa membuat pagar batu yang
tinggi hingga membuat orang-orang dari selatan tak datang ke utara.
Tentu bagi orang lain, pekerjaan ini tak mungkin.
Benteng untuk memisahkan bagian utara dan selatan begitu panjang. Orang-orang
bahkan tak bisa memperkirakan panjangnya. Tapi tidak bagi laki-laki itu. Ia
sadar dengan kelebihannya.
Maka di hari yang sudah ditentukan, bersama istri
dan anak perempuannya, ia pergi ke tempat ia akan memulai pekerjaan ini. Satu
demi satu batu diangkatnya, lalu ditatanya dalam tumpukan-tumpukan yang rapi. Istri
dan anaknya membantu membuatkan makanan dan mengusap keringatnya yang
bercucuran.
Berhari-hari telah berlalu. Walau batu-batu itu
memang takluk di tangannya, tetap saja kelelahan muncul di seluruh tubuhnya.
Tangannya luka-luka. Istrinya bahkan beberapa kali harus membalutnya dengan
perban.
Lama-kelamaan upaya laki-laki buta itu terdengar
juga di kotanya. Beberapa orang kawannya menengok dan mendukungnya. Namun
karena kesibukan sendiri-sendiri, mereka tak bisa turun tangan membantunya.
Mereka hanya bisa memberi uang atau makanan untuknya.
Laki-laki buta itu tentu bisa mengerti.
***
Tak terasa pekerjaan membuat pagar batu itu
berlangsung sampai bertahun-tahun. Anak perempuannya semakin dewasa. Walau ia
menjadi gadis yang bisa diandalkan, jiwa remajanya tetap tak bisa dikekang.
Sesekali ia ingin sedikit bersenang-senang. Dan, laki-laki buta itu cukup
mengerti sehingga ia pun tak mengekangnya.
Sementara beberapa tahun ditinggal olehnya,
kehidupan di kota semakin tak keruan. Setiap laki-laki buta itu membeli stok
makanan, tangannya menjadi panas, seakan-akan merasakan kehadiran orang-orang
dari selatan di sekitarnya. Bahkan saat ia hendak membayar belanjaannya pada
seorang pelayan di toko langganannya, sentuhan tangannya terasa membakarnya.
Ia hanya bisa mengeluh dalam-dalam pada istrinya, “Apakah pekerjaan yang
kita lakukan ini sia-sia?”Istrinya menggeleng pelan. “Entahlah,” ujarnya, “selama ini, aku hanya membantumu. Tugasku mendampingimu saat kau senang dan berduka.”
Laki-laki itu merasa terdukung. Ia mengucapkan terima kasih sambil mengecup kening istrinya. “Tapi hari ini aku tetap merasa pekerjaan kita sia-sia,” ujarnya setelah beberapa saat diam. “Orang-orang dari selatan semakin banyak yang kutemui di sini.”
Istrinya terdiam sejenak. “Kupikir tak ada yang sia-sia di dunia ini. Setidaknya orang-orang jadi tahu apa yang tengah berlangsung sekarang ini. Mereka akan lebih waspada.”
Laki-laki buta itu hanya bisa menghela napas.
Tapi kota tempat tinggalnya memang semakin
semrawut. Beberapa kawannya datang menceritakan semuanya. Kini para pengemis
tak lagi diperhatikan. Pencurian menjadi peristiwa yang rutin. Penipuan
berlangsung setiap hari. Pembunuhan menjadi puncak kejadian di setiap akhir
pekan.
Laki-laki itu begitu sedih. Namun ia tentu tak bisa
berbuat apa-apa. Yang bisa dilakukannya, meneruskan membuat pagar batunya.
Bertahun-tahun telah berlalu. Istrinya tanpa
disadarinya meninggal dalam tidurnya. Wajahnya tampak begitu lelah. Ia menangis
sepanjang pagi yang rekah.
Ia sadar waktunya pun segera datang. Tubuhnya sudah
semakin renta. Kekuatannya tak juga seperti dulu. Ia harus menyentuh batu-batu
itu lebih lama dari sebelumnya, sebelum ia mengangkatnya. Namun pada akhirnya,
pekerjaan itu selesai juga.
Ini setidaknya membuat matanya berkaca-kaca. Ia
ingin sekali merayakannya, sekaligus menikahkan anak perempuan satu-satunya,
yang selama ini sudah banyak membantunya.
***
Setahun kemudian kesehatannya semakin menurun.
Usianya sebenarnya belumlah terlalu tua, tapi keletihan membuat semua vitalitas
tubuhnya hancur. Tapi setidaknya, di saat kematian yang sudah mendekat, ia
tetap bisa bersenang hati.
Ia baru mendapat kabar anak perempuannya sudah
melahirkan. Itu artinya sebentar lagi ia bisa menggendong seorang cucu.
Sore itu, anak perempuannya benar-benar datang
dengan senyum merekah. Disodorkan bayi kecil yang masih merah dalam selimut
tebal padanya. Laki-laki buta itu berusaha memeluk cucunya. Namun ia tertegun.
Detik itu juga ia merasakan hawa panas. Terlebih saat bayi itu berada dalam
gendongannya. Kedua tangannya serasa akan terbakar.
0 komentar:
Posting Komentar