Pages

Kamis, 27 November 2014

PERSAHABATAN YANG BERAWAL DARI PERMUSUHAN


PERSAHABATAN YANG BERAWAL DARI PERMUSUHAN

Sahabat selalu ada disaat kita membutuhkannya, menemani kita disaat kita kesepian, ikut tersenyum disaat kita bahagia, bahkan rela mengalah padahal hati kecilnya menangis. Kita tak pernah tau kapan dan melalui peristiwa apa kita bisa menemukan seorang sahabat. Mungkin ada persahabatan yang berawal dari perkelahian.
Kring… kring… kring, si penunjuk waktu kembali membangunkanku. Aku pun bergegas untuk bangun, merapikan tempat tidur dan mandi.
“I feel good…!” aku bernyanyi nyaring di dalam kamar mandi. Untuk memuaskan keinginanku yang tak kesampaian menjadi seorang penyanyi terkenal.
Setelah selesai mandi, aku memakai seragam dengan rapi dan menyisir rambut. Saat sedang asik menyisir rambut, tiba-tiba terdengar suatu suara dari arah dapur.
“Jangan berlama-lama sisirannya! Ayo cepat kamu sarapan!” Ternyata itu adalah suara makhluk yang paling cerewet di bumi ini, namun ia sangat kusayangi. Itulah mamaku. Tak terbayang olehku saat dalam kandungan, ia selalu membawaku kemana-mana, tak pernah aku ditinggalkannya.
Tiba di dapur, ku lihat makanan favoritku terhidang di meja makan, yaitu gulai ayam.
“Nyam-nyam, enak banget gulai ayamnya ma. Jika ada kontes masak-memasak gulai, mama pasti menang.” pujiku kepada mama sambil melahap makananku.
“Hahahaha… bisa saja kamu ini.” Jawab mama sambil tersenyum simpul kepadaku.
Waktu telah menunjukkan pukul 06.30 Wib, saatnya untuk berangkat ke sekolah. Tak lupa aku membawa topi upacara dan memasukkannya ke dalam tas, karena saat ini adalah hari senin. Namun baru saja mau melangkah keluar rumah, ada suara itu lagi terdengar (suara mama).
“Eits..! jangan langsung pergi, pamitan dulu pada mama.” ucap mama dengan tegas ambil menjulurkan tangan kanannya.
“Oh iya, aku lupa.” aku pun menyalam tangan mama dan berpamitan untuk berangkat sekolah.
“Hati-hati di jalan ya, nak.” seru mama dari depan pintu rumah.
“Iya ma.” jawabku
Kutelusuri jalan dengan seorang diri. Sambil berjalan aku bernyanyi dengan sendu (dengan sedikit mengubah kata-kata dari lagu itu, agar nyanyian itu sama seperti pengalamanku). “Makan-makan sendiri, cuci piring sendiri, ke sekolah jalan sendiri, pulangnya juga sendiri”
Setelah lama berjalan, akhirnya aku sampai di sekolah.
“Huh… capek.” Kutarik nafas panjang sambil menghempaskan badan ke bangku. Saat lagi enak duduk di dalam kelas sambil mengobrol dengan teman-taman, tiba-tiba… “Teng… teng… teng” terdengar bunyi bel masuk.
“Huh… bunyi itu kembali terdengar” ujarku dalam hati sambil mengerutkan dahi. Lalu kuambil topi upacara dari dalam tas dan segera mengenakannya.
Saat di lapangan upacara aku berbaris di sebelah kanan Nia dan di belakang Sofi. Upacara pun berjalan dengan hikmat, namun saat dipertengahan, aku mencium bau busuk dari arah depanku. Karena yang berbaris di depanku Sofi, maka aku mengira bahwa dialah yang berbau busuk. Tanpa pikir panjang, aku langsung menyindirnya dengan pedas.
“Teman-teman, sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pernafasanku. Seperti bau busuk makanan basi, sumbernya berasal tepat dari arah depanku. Mungkin ada seseorang yang tidak mandi dan tidak menyuci bajunya. Sehingga bau busuk dari badannya itu menyebar ke seluruh penjuru bumi.” Sindirku pedas. Mendengar sindiranku, Sofi pun menoleh ke belakang.
“Hei! tutup mulutmu itu ya, setiap ke sekolah aku selalu mandi dan memakai seragam yang sudah dicuci bersih. Jadi jangan sembarangan menuduh dong!” tutur Sofi dengan wajah yang merah seperti tomat.
“Memang kenyataannya kok, buktinya bajumu bau busuk.” balasku dengan sedikit menaikkan alis sebelah kiri.
“Pokoknya bau busuk itu bukan berasal dari bajuku.” ujar Sofi yang sepertinya mau menjatuhkan butiran-butiran kristal itu dari matanya.
“Ha… ha… ha, mana mungkin kamu mau mengaku.” ucapku dengan nada yang agak sedikit mengejek.
“Terserah kamu deh, mau percaya padaku atau tidak. Dasar nenek sihir!” kata Sofi sembari mengusap butiran-butiran kristal yang tak terasa telah membasahi pipinya.
Karena kejadian itu, aku dan Sofi pun bertengkar.
“Teng… teng… teng…” bel tanda pulang sekolah pun berbunyi. Aku pun segera pulang ke rumah dengan berjalan kaki.
Sesampai di rumah, kuganti baju lalu makan siang dan tidur.
T
ak terasa hari sudah menunjukkan sore. Aku pun segera mandi.
“Aku jahat sekali ya, sudah menuduh Sofi sembarangan, padahalkan belum ada buktinya.” kataku dalam hati sambil menyadari semua kesalahanku.
Hari telah menunjukkan pukul 19.00 Wib, waktunya untuk belajar. Aku bergegas ke kamar dan menyusun jadwal pelajaran untuk esok hari. Saat baru membuka tasku, tercium bau yang tak sedap.
“Seperti bau busuk yang di sekolah tadi.” ungkapku dalam hati.
Aku mulai penasaran asal bau busuk itu. Setelah mengeluarkan seluruh isi tas, aku pun menemukan asal bau busuk itu. Ternyata bau busuk itu berasal dari topiku yang terkena bakwan basi pada minggu lalu. Aku pun terdiam dan mulai berpikir, ternyata aku telah salah menuduh Sofi, rupanya bau busuk itu berasal dari topiku.
Esok harinya aku berangkat ke sekolah. Di sekolah aku melihat Sofi sedang menyapu kelas. Kulemparkan senyuman padanya, namun ia malah membuang muka. Ternyata dia masih marah padaku. Aku berusaha untuk meminta maaf padanya dengan cara mendekatinya, namun ia selalu saja pergi saat aku menghampirinya.
Sudah 5 hari aku berusaha untuk meminta maaf padanya, namun tak pernah berhasil. Hari demi hari kulalui dengan rasa bersalah yang amat dalam. Akhirnya ku temukan ide untuk meminta maaf padanya, yaitu dengan memberinya sepucuk surat dan coklat.
Selang sehari, akhirnya suratku dibalas oleh Sofi. Ia menerima permintaan maafku dengan syarat apabila aku tidak mengulangi kesalahan itu lagi, dan akhirnya kami pun kembali berteman dan malahan semakin akrab saja.
Keesokan harinya aku mengajak Sofi untuk bermain di taman sambil menikmati indahnya sinar keemasan si kulit bundar.
“Fi, lihat deh indah banget ya sinar matahari itu. Aku sangat terpesona padanya.” ucapku
“Iya nih, aku juga sangat senang melihat sinar matahari pada sore hari.” jawab Sofi
“Lihat deh, disana ada pohon besar yang sangat indah. Ayo kita ukir nama kita pada batang pohon itu, agar persahabatan kita tidak pernah pudar dan tetap abadi.” kataku sambil mengambil 2 buah paku yang berada di dekat kami untuk mengukir batang pohon itu.
“Ide kamu bagus juga.” jawab Sofi setuju.
Nama kami pun terukir indah di batang pohon itu.
Selesai mengukir, kami berjalan-jalan di dekat sebuah kolam yang agak dalam. Entah mengapa, tiba-tiba Sofi terperosok masuk ke dalam kolam itu.
“Tolong-tolong aku tenggelam.” teriak Sofi keras sambil berusaha menjaga kepalanya agar tetap berada di atas permukaan air. Kemudian tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke dalam kolam itu dan berusaha menolong Sofi. Kudorong badannya dengan sekuat tenaga agar ia bisa keluar dari kolam itu, namun tak kusadari perlahan-lahan tubuhku terdorong masuk ke dalam lumpur yang lengket. Akhirnya Sofi bisa keluar dari kolam itu, namun malah aku yang tak bisa menyelamatkan diri, karena tubuhku telah terdorong masuk ke dalam lumpur.
Karena melihat keadaanku yang sudah lemas dan hampir tenggelam, maka Sofi memanggil orangtuanya, karena kebetulan rumahnya sangat dekat dari taman. Namun saat Sofi dan orangtuanya tiba, kepalaku sudah tak kelihatan lagi di atas permukaan air. Aku sudah tenggelam karena terjebak di lumpur yang dalam. Kemudian dengan sigap ayah Sofi mencariku di dalam kolam. Akhirnya aku ketemu dan langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Setelah sadar, kulihat papa, mama, Shofi, om Dahlan (papa Shofi), dan tante Nuri (mama Shofi) berdiri memperhatikanku yang berbaring diatas tempat tidur. Setelah melihatku sudah sadar, Sofi pun langsung berbicara kepadaku.
“Makasih ya atas pertolonganmu tadi” ungkap Sofi sambil mengusap air mata yang telah membasahi pipinya yang imut itu.
“Iya sama-sama.” jawabku sambil tersenyum simpul kepadanya.
“Aku mau bertanya satu hal padamu. Mengapa sih kamu tadi rela mengorbankan nyawamu demi aku?” tanya Sofi penasaran. Kemudian aku pun menjawab pertanyaan Sofi dengan satu kalimat.
“Karena kita sahabat” jawabku sambil tersenyum. Kemudian kami berdua pun saling berpelukan dan meneteskan air mata haru
2. A Story of Friendship
Nadia menutup pintu kamar mandi. Ia memutar badannya, lalu berjalan menuju tempat tidur yang berada beberapa langkah di hadapannya.
“Hai, kamu sudah bangun.” Ucap Nadia kepada seorang gadis yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. Gadis itu diam, ia hanya tersenyum samar.
“Tadi Mama kamu pulang, katanya mau ngambil baju ganti buat kamu. Ya, paling bentar lagi balik, soalnya sudah sejak tadi.” Ucap Nadia sambil duduk di atas kursi yang berada di samping tempat tidur.
“Oh ya, laper nggak? Kalau laper, sarapan dulu.” Nadia mengambil semangkuk bubur yang berada di atas meja. Gadis itu masih diam, ia memandang sayu ke arah semangkuk bubur tadi, kemudian ia memandang Nadia dengan sayu.
Nadia menarik napas panjang. “Cuma sarapan Ya, kalau habis sarapan kamu nggak mau minum obat juga nggak papa.” Ucap Nadia memandang gadis di hadapannya dengan lekat. Gadis di hadapannya itu tak merespon.
“Ya sudah deh, kalau nggak mau.” Ucap Nadia sambil mengembalikan semangkuk bubur tadi ke tempat semula.
“Kita jalan-jalan aja yuk.” Ucap Nadia mengajak gadis di hadapannya. Gadis itu menatap Nadia dengan sayu. Dua bola matanya seolah mengatakan sesuatu. Ia kemudian memandang ke arah kursi roda yang berada di sudut kamar ini, ia memandang kursi roda itu dengan tatapan penuh kebencian. Gadis itu kembali memandang Nadia dengan pandangan seolah merasa sangat bersalah.
Nadia menatap kedua bola mata gadis di hadapannya itu. “Saat kamu mulai jalan dengan tertatih, aku selalu siap buat memapah kamu. Dan disaat kamu harus duduk di kursi roda, aku juga akan selalu siap mengantar kamu kemanapun kamu ingin. Kamu masih merasa nggak enak sama aku? Merasa ngrepotin? Apa dalam persahabatan itu ada rasa hutang budi? Apa dalam persahabatan itu ada perasaan sungkan? Buat aku, nggak akan pernah ada kata “ngrepotin” dalam persahabatan yang aku jalin sama sahabat-sahabat aku, termasuk kamu Ya.” Nadia menelan ludahnya.
Mereka berdua diam. Diam beberapa menit. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Saling menatap kosong ke arah depan mereka.
“Apa masih ada hari lagi buat aku?” Tanya gadis tadi kepada Nadia. “Apa masih ada hari buat kumpul bareng teman-teman, buat ngebanggain Papa sama Mama. Buat terus sama kamu Nad?” Sambungnya.
“Masih ada. Dan akan selalu ada.” Ucap Nadia optimis, ia tersenyum manis pada gadis berwajah oriental tersebut.
“Apa masih ada natal tahun depan? Apa kita masih bisa menghias pohon natal bareng-bareng? Apa kita masih bisa ngajar anak-anak yang ngaji di Masjid? Apa kita masih bisa ngajari mereka matematika dan bahasa inggris?”
“Gimana…” Gadis bermata sipit itu menelan ludahnya. “Gimana kalau aku pergi duluan? Apa Tuhan akan mempertemukan aku sama kamu besok?”
Duggg!!! Mendengar pertanyaan gadis itu, seolah ada yang menghantam jantung Nadia dengan sangat keras.
Nadia membungkukkan tubuhnya. Ia dekatkan wajahnya dengan wajah gadis itu. Ia elus dahinya dengan lembut.
“Aku atau kamu yang pergi duluan, kita akan ketemu lagi kok besok.” Ucap Nadia lembut.
“Apa mungkin, Tuhan akan mempertemukan kita berdua?”
“Natalia. Nggak ada Tuhan yang jahat. Tuhan kita semua baik. Aku yakin, besok, kalau kita sudah sama-sama pergi dari dunia ini. Yesus dan Allah akan mempertemukan kita. Mereka, akan bekerja sama, untuk mempertemukan kita kembali. Karena, Mereka sayang kita, seperti kita menyayangi Mereka.” Ucap Nadia dengan perasaan yang penuh keperihan.
Gadis yang dipanggil “Natalia” tadi mengangkat tubuhnya, mencoba untuk duduk. Ia menutup matanya. Setetes air bening mengalir dari balik kelopak matanya yang tertutup.
“Hei, jangan nangis dong. Sudah berapa kali aku bilang? Jangan pernah nangis gara-gara penyakit kamu, itu artinya, kamu membiarkan kamu kalah oleh penyakit ini.” Nadia mengusap kedua pipi Natalia dengan lembut, menghapus air mata yang membasahi pipi gadis di hadapannya.
Natalia diam, mencoba mengatur napasnya. Mencoba untuk tak menangis di hadapan Nadia. Ia memandang kosong ke arah lukisan yang berada di kamar rumah sakit.
Nadia memandang Natalia dengan perasaan perih. Seolah ia tahu apa yang saat ini tengah dirasakan dan dipikirkan Lia.
“Lia. Kalau kamu benar-benar nggak kuat, nangis saja! Nggak papa kok kalau kamu mau nangis.”
Natalia memejamkan matanya. Tangisnya pecah. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tanpa berpikir, Nadia segera memeluk gadis bermata sipit itu.
“Nangis yang puas, kalau itu bisa bikin kamu lega.” Ucap Nadia mencoba menahan air matanya yang telah memenuhi kelopak matanya agar tak terjatuh membasahi pipinya.
“A.. A… Ku, say..sayang kamu. Kenapa sih saat orang kaya kamu datang di kehidupan aku, justru aku yang akan pergi dari kehidupan kamu?” Natalia tak sanggup mengontrol emosi jiwanya. Air matanya menetes membasahi bagian belakang jilbab putih yang Nadia kenakan.
“Aku juga sayang sama kamu. Kalau penebusan dosa itu ada, kamu nggak perlu khawatir. Karena aku yakin Tuhan akan membiarkan kamu masuk ke dalam surga-Nya. Dan meskipun kita nggak bisa ketemu lagi. Aku yakin kamu nggak akan merasa sedih, dan mungkin kamu sudah lupa sama aku. Karena di surga itu hanya ada kebahagiaan Ya. Dan kamu akan terus merasa bahagia saat kamu berada di sana, meskipun sekarang kamu merasa takut dan sedih kalau kita nggak bisa ketemu lagi, tapi di surga nanti, kamu akan melupakan kesedihan itu.” Ucap Nadia sambil mengusap air matanya yang telah berhasil membasahi kedua pipinya.
Dear Beloved Best Friend
Josephine Natalia Veronica
Sesungguhnya, hanya ada satu Tuhan di sepanjang masa. Hanya ada satu agama yang paling diakui Tuhan di kehidupan ini. Dan hanya ada satu hal yang dapat mempersatukan perbedaan: Cinta di antara dua atau lebih orang yang saling menyayangi dan mengasihi.
Sampai kapanpun dan apapun yang dikatakan orang-orang tentang persahabatan ini. Aku tak akan pernah memperdulikannya, dan kamu Natalia, ku harap, kamu juga nggak akan pernah memperdulikan itu.
Karena matahari dan bumi berbeda, namun mereka saling menaungi dan melengkapi. Karena api dan tanah berbeda, namun api itu tak akan ada bila sesuatu yang berada di dalam tanah tak ada.
Meski Tuhanku satu dan Tuhanmu tiga. Meski aku hanya mengakui satu Tuhan dari Tuhanmu. Namun aku dan kamu seperti matahari dan bumi. Seperti tanah dan api.
Apapun yang orang-orang katakan tentang persahabatan ini. Aku tak peduli. Dan ku harap kamu juga tak peduli. Sampai kapanpun dan bagaimanapun juga. Kamu dan aku, tetap sahabat. Dan kamu, sebagai sahabat terbaikku. Sekalipun Tuhanmu dan Tuhanku memikirkan sesuatu tentang persahabatan kita, aku tak peduli!
Dan bila esok aku tak mampu masuk surga, dan kamu telah berada di dalamnya. Sampaikan kata maafku untuk Tuhan, bila ternyata aku memilih Tuhan yang salah. Namun bila aku yang masuk surga dan Tuhan tak mengizinkanmu, aku akan berkata pada Tuhan, “Tolong ringankan siksanya Tuhan. Karena aku menyayanginya. Bukankah Kau meyayangiku? Sebagaimana Kau menyayangi Muhammad? Bukankah Kau meringankan siksa orang yang paling ia cintai?” Dan aku yakin, Tuhan akan mengabulkan permohonanku. Karena kamu, tak pernah membuatku untuk meninggalkan dan melupakan Tuhanku. Seperti Abu Thalib yang tak pernah membuat Muhammad saw meninggalkan, melupakan, dan berhenti setia kepada Tuhannya.
Aku dan kamu, seperti Muhammad saw dan Abu Thalib. Selamanya.
3. Kenapa Harus Mencuri?
“Assalamualaikum Bang Doni! Ini Maul, bang!”
Maulana berteriak memanggil Bang Doni, pemilik counter pulsa yang berada di depan Rumah Sakit Harapan Indah. Counter pulsa itu buka 24 jam dan di pagi buta Maulana sudah datang membawakan kue-kue buatan ibunya untuk dijual di sana. Hal itu memang merupakan kegiatannya setiap hari. Karena ia hanya hidup dengan ibunya semenjak ditinggal sang ayah untuk selama-lamanya.
“Wa’alaikum salam, iya sebentar”, Bang Doni yang masih memakai sarung menghampiri Maulana yang sudah 5 menit menunggu di depan.
“Yah bagaimana sih bang, tokonya nggak dijaga begini”, kata Maulana berbasa-basi, sambil meletakkan keranjang berisi kue-kue di atas meja panjang yang terbuat dari kaca itu.
“Abang tadi baru selesai sholat subuh, maaf ya kalau lama”, kata Bang Doni sambil memindahkan keranjang kue tersebut.
“Saya nitip kuenya ya, bang”, kata Maulana sebelum pergi.
“Sip, belajar yang benar ya!”, Bang Doni menepuk kepala Maulana dengan lembut sebelum anak itu melanjutkan perjalanannya ke sekolah.
Maulana melangkahkan kakinya yang hanya dibalut dengan sepatu yang sudah ditambal berkali-kali. Kaus kakinya pun sudah mulai kendor dan berwarna kekuningan. Ia memang berasal dari keluarga yang kurang mampu. Namun ia tetap bersemangat pergi ke sekolah pagi itu.
Begitu sampai di kelas, ia melihat beberapa teman sekelasnya berkumpul di tempat duduknya dengan Sabam. Ia berjalan mwnuju tempat duduknya itu.
“Wah keren, Sabam sudah punya handphone! Ah nanti aku minta ke mama ah!”, seru salah seorang murid yang meninggalkan tempat itu.
Sabam melihat wajah Maulana di antara wajah teman-temannya yang mengerubunginya itu.
“Mauul!! Eh minggir, sobatku sudah datang!”, Sabam segera berdiri dan menyapa sahabatnya itu.
Seketika anak-anak yang tadi berkumpul di tempat mereka langsung pergi. Maulana menaruh tasnya di atas kursi. Teman sekolahnya memang kebanyakan anak orang kaya. Namun tidak cukup baik untuk mau berteman dengan anak orang miskin. Berbeda dengan Sabam yang menerima Maulana apa adanya sebagai temannya
“Katanya kamu baru dibelikan handphone baru ya, Bam?” tanya Maulana.
“Ah handphone jelek saja kok!”, kata Sabam merendah.
Sabam segera memasukkan ponsel barunya itu ke dalam tas ketika temannya selesai meminjam benda tersebut. Ia memang tidak suka pamer, apa lagi di depan Maulana. Kehebohan tadi pun terjadi hanya karena ada salah seorang murid iseng yang tak sengaja melihat Sabam menelepon dengan handphone barunya itu lalu ia memberi tahu murid-murid yang lain mengenai handphone baru itu. Untuk ukuran murid kelas 4 SD seperti mereka saat itu, mempunyai ponsel merupakan hal yang sangat hebat.
Maulana membayangkan andaikan dirinya bisa seperti Sabam. Andai saja ia terlahir di keluarga kaya. Ia pun tidak perlu menjual kue dan repot-repot menjualnya. Belum lagi sekarang ibunya sedang sakit-sakitan. Sejujurnya ia merasa miris melihat keadaan ibunya di rumah, Sudah beberapa hari pula ia tidak menggunakan uang sakunya untuk makan di sekolah agar bisa menabung untuk membeli obat untuk ibunya.
Waktu itu, sempat sekali ibunya pergi ke dokter. Namun ternyata tagihannya sangatlah mahal. Terpaksa uang mereka untuk makan sebulan habis begitu saja. Sejak itu, ibunya tidak mau lagi pergi ke dokter. Maulana tidak pernah menceritakan masalah itu pada siapapun, termasuk Sabam sahabat baiknya. Ia tahu bahwa ibu Sabam adalah seorang dokter namun ia cukup tahu diri untuk tidak meminta apapun darinya. Ia selalu mengingat perkataan ayahnya, “Biarpun kita miskin, kita tidak boleh meminta-minta pada orang lain”
Sore harinya, Maulana kembali mendatangi counter pulsa Bang Doni. Ia ingin mengambil keranjang kue yang dititipkan tadi pagi.
“Ini Ul, uangnya. Hari ini kue nya habis loh!”, kata Bang Doni sambil menghitung uang yang terkumpul lalu memberikannya pada Maulana.
“Terima kasih”, Maul kembali menghitung uang yang diberikan. Mengalikan harganya dengan jumlah kue yang ada lalu membagi dua puluh persennya untuk Bang Doni.
“Bang ini kelebihan kayaknya”, ujar Maulana.
“Hari ini abang nggak ambil untung. Buat kamu saja”, jawab Bang Doni sambil menaikkan kedua alisnya dan tersenyum.
“Terima kasih banyak, bang!”, Maulana tersenyum senang lalu mengamankan uang tersebut di dalam tasnya.
“Bang aku boleh duduk di sini sebentar, kan? Capek banget”, kata Maulana sambil merenggangkan kakinya.
“Iya, silakan”
Maulana duduk menghadap jalan raya. Di hadapannya berdiri sebuah rumah sakit. Mobil-mobil mewah keluar masuk rumah sakit tersebut. Maulana menundukkan wajahnya, ia berpikir mengapa dunia begitu tak adil, mengapa jaminan kesehatan hanya dimiliki orang-orang berkantung tebal saja.
Ia segera sadar dari lamunannya saat seseorang memberhentikan motornya di depan counter pulsa itu. Orang itu memakai jas motor dan bertubuh tinggi besar. Ia melepas helmnya lalu duduk di atas salah satu kursi di sebelah Maulana.
“Ada yang bisa dibantu, pak?”, tanya Bang Doni.
“Saya mau jual handphone”, kata orang itu sambil meletakkan handphone nya di atas meja kaca itu. Bang Doni mengambilnya dan memerhatikan keadaan fisik benda tersebut. Sementara itu Maulana hanya mendengarkan percakapan tersebut walau sebenarnya ia tidak mengerti apa yang dibicarakan. Hingga akhirnya handphone milik bapak-bapak itu Bang Doni masukkan ke dalam meja kaca. Bapak-bapak itu pun mendapatkan sejumlah uang lalu kembali pergi dengan motornya. Uang yang didapat juga cukup banyak.
“Kok abang ngasih uangnya banyak banget?”, tanya Maulana.
“Tadi handphonenya masih bagus, keluaran terbaru pula. Makannya harganya masih mahal juga”, jelas Bang Doni.
“Oh begitu ya, bang”, Maulana mengangguk.
Akhirnya ia pun memutuskan pulang dan meninggalkan counter pulsa itu. Dalam perjalanan, ia memikirkan kejadian tadi. Tiba-tiba ia teringat akan handphone baru milik Sabam.
“Kalau handphonenya masih baru dan bagus, harganya mahal pula”, kata Maulana dalam hati.
Tiba-tiba ia menghentikkan langkah kakinya.
“Astagfirullah, Maul.. Aku mikir apa sih? Nggak mungkin kan aku menjual handphone Sabam! Itu sama saja dengan mencuri!”, Maulana menepuk dahinya.
Ia beristigfar berkali-kali untuk membuang pikiran negatifnya tersebut jauh-jauh.
Hari-hari pun berlalu, kini Maulana harus berjuang lebih keras lagi mengingat penyakit ibunya yang semakin parah. Mau tidak mau Maulana belajar cara membuat kue sendiri. Paling tidak pekerjaan ibunya semakin ringan dengan bantuannya. Kalau tidak bekerja sama sekali, akan makan apa ia dan ibunya?
Tetapi tidak pernah sekalipun Maulana menunjukkan wajah lelah dan kesal di depan ibunya. Pagi itu, Maulana sarapan bersama ibunya di kamar.
“Sudahlah, Ul, tidak perlu bantu ibu buat kue lagi. Nanti kamu capek. Lebih baik kamu banyak belajar supaya nanti dewasa bisa jadi orang kaya. Tidak seperti orangtuamu”, kata wanita berwajah pucat itu.
“Ibu kan sakit, Maul nggak bisa bantu banyak buat ibu berobat. Makanya Maul mau membantu ibu apa saja. Lagipula Maul senang kok sekarang bisa masak kue!”, kata Maulana sambil tertawa.
Ibunya hanya bisa tersenyum. Ia merasa seperti wanita paling beruntung di dunia bisa memiliki anak sebaik Maulana. Memang ia tidak bisa memberikan banyak hal materil pada anaknya itu, tetapi doanya sebagai seorang ibu tidak pernah berhenti dicurahkan. Harapannya satu, ingin melihat Maulana hidup bahagia di masa depannya nanti.
Hari itu, Maulana pulang paling terakhir. Ia dihukum membersihkan kelas karena lupa mengerjakan PR. Akhir-akhir ini ia memang sangat sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai “tukang kue”. Sabam tidak bisa menemaninya karena harus pergi les.
“Loh ini kan..”, Maulana melihat sebuah handphone tertinggal di dalam kolong meja mereka.
“Handphone nya Sabam ketinggalan!”, Maulana berseru sambil memerhatikan handphone tersebut yang memang kepunyaan Sabam.
Yang Maulana pikirkan saat itu adalah segera mengembalikannya. Namun rumah Sabam jauh sekali dari sekolahnya. Tidak mungkin ia pergi ke sana sendirian tanpa ongkos naik bis. Ia pun memutuskan membawa pulang handphone tersebut terlebih dahulu.
Maulana kembali mendatangi counter pulsa Bang Doni untuk mengambil hasil jualan kuenya. Hari itu keuntungan yang didapat tidak begitu besar. Ketika uangnya sudah diberikan, Maulana masih belum meninggalkan tempat tersebut.
“Bang Doni”, panggil Maulana.
“Iya, Ul?”,sahut Bang Doni.
Maulana menengok ke arah kanan dan kirinya. Tiba-tiba ada rasa penasaran di dalam hatinya untuk mengetahui berapa harga handphone milik Sabam yang ia bawa.
“Bang, kalau handphone seperti ini dijual jadi berapa?”, tanya Maulana sambil mengeluarkan handphone tersebut dari kantung celananya.
“Wah, sejak kapan kamu punya handphone, Ul?”, Bang Doni menerima handphone tersebut dan memerhatikan handphone tersebut.
“Bu-bukan handphone aku itu! Punya temanku ketinggalan di sekolah tadi”
“Oh begitu. Kalau ini dijual harganya bisa sekitar lima ratus ribu”, kata Bang Doni lalu mengembalikan handphone tersebut.
“Lima ratus ribu?”, ulang Maul. Tidak pernah Ia memegang uang sebanyak itu seumur hidupnya. Ia teringat akan ibunya di rumah. Lima ratus ribu sudah pasti cukup untuk biaya berobat ibunya.
“Iya, lima ratus ribu”, Bang Doni mengiyakan.
“Ya sudah aku cuma tanya aja kok bang. A-aku duluan ya, permisi”, Maulana segera membawa keranjang kuenya dan pulang ke rumah.
Malam itu Maulana habiskan dengan mengerjakan tugas-tugasnya. Sesekali matanya melirik pada sebuah ponsel yang ia letakkan di atas tempat tidurnya. Seketika melihat ponsel itu, yang ia ingat adalah uang sebesar lima ratus ribu yang bisa ia dapat dengan mudah.
“Kalau dipikir-pikir, Sabam kan orang kaya. Pasti ia bisa beli lagi handphone seperti itu, bahkan yang lebih bagus dari itu”, gumam Maulana.
Tiba-tiba handphone itu berbunyi dan mengagetkan Maulana. Ia segera melihat siapa peneleponnya.
“Mama? Eh jangan-jangan ini mamanya Sabam yang telepon!”, Maulana mulai panik, ia menutupi ponsel itu dengan bantal agar suaranya tidak berisik.
Lama-lama suara itu tak terdengar lagi dan Maulana kembali mengerjakan tugasnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya malam itu sehingga ia memutuskan untuk menjual handphone itu esok hari. Toh Sabam tidak tahu kalau handphone itu ada pada dia.
“Dasar maling! Aku nggak nyangka kamu setega itu, Ul!”, bentak Sabam penuh amarah.
“Tu-tunggu Bam!”, Maulana berusaha menjelaskan apa yang terjadi.
Teman-teman sekelasnya mencibir dan menjauhi dirinya.
“Makanya aku nggak pernah mau berteman dengan orang miskin. Orang miskin itu pasti maling!”
“Eh Maul, kalau miskin mendingan nggak usah sekolah di sini saja! Sana kerja saja jadi kuli bangunan hahahahaha!”
Maulana menutup telinganya. Ia tidak kuat mendengar cemooh dan hinaan yang memang pantas ditujukan padanya. Ia pun berlari keluar kelas. Semua orang di sekolah yang melihatnya menatapnya dengan tatapan aneh dan penuh kebencian. Air mata mulai membasahi pipinya saat ia berlari keluar dari gerbang sekolah. Yang ia tahu, ia hanya berlari dan berlari hingga ia sampai di depan rumahnya yang pintunya terbuka. Ibunya masih sakit-sakitan padahal sudah dibelikan obat, namun tidak setetes pun obat itu yang ibunya sudi minum. Maulana merasakan sakit yang teramat sangat di hatinya. Ia membuka pintu kamarnya dan melihat seseorang yang sudah lama tak ia lihat. Tanpa ia sadari, air matanya terus berjatuhan.
“Bapak!”, Maulana berlari ingin memeluk bapaknya itu.
“Pak, Maul takut, pak. Semua orang benci Maul”, Maulana menangis di dalam pelukan ayahnya. Ayahnya tidak menjawab apa-apa namun ia mengelus kepala anaknya itu.
“Maul.. kamu lupa ya pesan bapak?”
“Pesan?”
“Biarpun kita miskin, kita tidak boleh berbohong. Biarpun kita miskin, kita tidak boleh meminta-minta. Biarpun kita miskin, kita juga tidak boleh mencuri”, kata ayahnya dengan lembut.
Hatinya bergetar hebat ketika mendengar perkataan itu hingga air matanya tak terbendung lagi.
Maulana terbangun dari mimpi anehnya malam itu. Pakaiannya basah dengan keringat. Nafasnya pun terengah-engah. Ia melihat handphone milik Sabam masih ada di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya. Tak sadar, air matanya pun menetes. Ia menyesal pernah berniat menjual benda yang bukan miliknya itu. Segala kejadian buruk di dalam mimpinya itu membuat dia amat ketakutan hingga ia terbangun dari mimpinya. Ia pun kembali sadar bahwa ia tidak dapat lagi memeluk ayahnya seperti di mimpinya itu. Maulana melihat jam yang masih berdetak di dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 12 tengah malam. Hatinya merasa terpanggil untuk segera meminta ampun kepada Allah. Dengan wajah yang masih basah dengan air mata, Maulana pergi mengambil wudhu dan melakukan sholat malam di kamarnya.
Maulana sengaja datang lebih awal ke sekolah pagi itu. Tepat seperti dugaannya, Sabam sudah datang terlebih dahulu. Wajah temannya itu terlihat kusut dan Maulana tahu penyebabnya.
“Ul, handphone ku hilang waktu pulang sekolah. Kamu lihat gak, Ul?”, tanya Sabam dengan wajah melas.
“Oh itu. Kemarin aku menemukannya di kolong meja kita. Karena takut hilang, aku bawa pulang. Ini kok aku bawa!”, jawab Maulana segera membuka tas sekolahnya.
Wajah Sabam berubah menjadi cerah kembali. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya saat melihat handphone yang ia cari itu masih ada.
“Syukurlah ternyata ada sama kamu ya Ul. Terima kasih banyak! Kalau nggak ada kamu pasti handphone ku sudah hilang!”, Sabam menjabat tangan Maulana berkali-kali dan mengguncang bahu temannya itu.
Hati Maulana serasa penuh ketenangan. Ia tersenyum dan menjawab singkat ucapan terima kasih dari temannya itu. Ia menaruh tasnya di kursi sebelah Sabam.
“Maulana, kamu kenapa? Kayaknya kamu lagi ada masalah ya?”, tanya Sabam tiba-tiba.
Maulana tertegun.
“Akhir-akhir ini kamu jadi sering dimarahin guru dan nggak konsen kalau di kelas. Memangnya ada masalah apa sih, Ul? Ayo cerita aja, kita kan teman!”, Sabam menepuk pundak Maulana seolah semakin memaksanya untuk bercerita.
“Sebenarnya aku sedang bingung. Ibuku sedang sakit dan kami tidak punya uang. Aku tidak tega melihat ibuku seperti itu”, Maulana akhirnya mau bercerita untuk pertama kalinya.
Sabam terdiam dan memilih lanjut mendengarkan cerita Maulana hingga selesai.
“Kalau begitu nanti malam aku dan mamaku akan ke rumah kamu. Ibu ku kan dokter. Siapa tau bisa membantu”, kata Sabam sambil tersenyum.
“Ta-tapi”, Maulana seolah tidak percaya dengan perkataan temannya itu.
“Sudah, nggak usah sungkan! Ini sebagai balas budiku karena kamu sudah mengembalikan handphone-ku!”, kata Sabam.
Tak pernah Maulana sebahagia itu dalam hidupnya. Di malam hari, Sabam beserta orangtuanya benar-benar datang ke rumah Maulana. Akhirnya ibunya pun dapat berkonsultasi langsung dengan dokter dan mendapatkan obat agar bisa lekas sembuh. Maulana amat bersyukur telah membatalkan niat buruknya waktu itu. Ternyata kejujuran tidak akan pernah membawa kehancuran. Justru kebohongan lah yang akan menjerumuskan diri ke dalam kesengsaraan. Sejak itu, Maulana dan Sabam pun menjadi sahabat karib.

0 komentar:

Posting Komentar