PERSAHABATAN YANG BERAWAL DARI PERMUSUHAN
Sahabat selalu ada disaat kita membutuhkannya,
menemani kita disaat kita kesepian, ikut tersenyum disaat kita bahagia, bahkan
rela mengalah padahal hati kecilnya menangis. Kita tak pernah tau kapan dan
melalui peristiwa apa kita bisa menemukan seorang sahabat. Mungkin ada
persahabatan yang berawal dari perkelahian.
Kring… kring… kring, si penunjuk waktu kembali
membangunkanku. Aku pun bergegas untuk bangun, merapikan tempat tidur dan
mandi.
“I feel good…!” aku bernyanyi nyaring di dalam kamar
mandi. Untuk memuaskan keinginanku yang tak kesampaian menjadi seorang penyanyi
terkenal.
Setelah selesai mandi, aku memakai seragam dengan
rapi dan menyisir rambut. Saat sedang asik menyisir rambut, tiba-tiba terdengar
suatu suara dari arah dapur.
“Jangan berlama-lama sisirannya! Ayo cepat kamu
sarapan!” Ternyata itu adalah suara makhluk yang paling cerewet di bumi ini,
namun ia sangat kusayangi. Itulah mamaku. Tak terbayang olehku saat dalam
kandungan, ia selalu membawaku kemana-mana, tak pernah aku ditinggalkannya.
Tiba di dapur, ku lihat makanan favoritku terhidang
di meja makan, yaitu gulai ayam.
“Nyam-nyam, enak banget gulai ayamnya ma. Jika ada
kontes masak-memasak gulai, mama pasti menang.” pujiku kepada mama sambil
melahap makananku.
“Hahahaha… bisa saja kamu ini.” Jawab mama sambil
tersenyum simpul kepadaku.
Waktu telah menunjukkan pukul 06.30 Wib, saatnya
untuk berangkat ke sekolah. Tak lupa aku membawa topi upacara dan memasukkannya
ke dalam tas, karena saat ini adalah hari senin. Namun baru saja mau melangkah
keluar rumah, ada suara itu lagi terdengar (suara mama).
“Eits..! jangan langsung pergi, pamitan dulu pada
mama.” ucap mama dengan tegas ambil menjulurkan tangan kanannya.
“Oh iya, aku lupa.” aku pun menyalam tangan mama dan
berpamitan untuk berangkat sekolah.
“Hati-hati di jalan ya, nak.” seru mama dari depan
pintu rumah.
“Iya ma.” jawabku
Kutelusuri jalan dengan seorang diri. Sambil
berjalan aku bernyanyi dengan sendu (dengan sedikit mengubah kata-kata dari
lagu itu, agar nyanyian itu sama seperti pengalamanku). “Makan-makan sendiri,
cuci piring sendiri, ke sekolah jalan sendiri, pulangnya juga sendiri”
Setelah lama berjalan, akhirnya aku sampai di
sekolah.
“Huh… capek.” Kutarik nafas panjang sambil
menghempaskan badan ke bangku. Saat lagi enak duduk di dalam kelas sambil
mengobrol dengan teman-taman, tiba-tiba… “Teng… teng… teng” terdengar bunyi bel
masuk.
“Huh… bunyi itu kembali terdengar” ujarku dalam hati
sambil mengerutkan dahi. Lalu kuambil topi upacara dari dalam tas dan segera
mengenakannya.
Saat di lapangan upacara aku berbaris di sebelah
kanan Nia dan di belakang Sofi. Upacara pun berjalan dengan hikmat, namun saat
dipertengahan, aku mencium bau busuk dari arah depanku. Karena yang berbaris di
depanku Sofi, maka aku mengira bahwa dialah yang berbau busuk. Tanpa pikir
panjang, aku langsung menyindirnya dengan pedas.
“Teman-teman, sepertinya ada sesuatu yang mengganggu
pernafasanku. Seperti bau busuk makanan basi, sumbernya berasal tepat dari arah
depanku. Mungkin ada seseorang yang tidak mandi dan tidak menyuci bajunya.
Sehingga bau busuk dari badannya itu menyebar ke seluruh penjuru bumi.”
Sindirku pedas. Mendengar sindiranku, Sofi pun menoleh ke belakang.
“Hei! tutup mulutmu itu ya, setiap ke sekolah aku
selalu mandi dan memakai seragam yang sudah dicuci bersih. Jadi jangan
sembarangan menuduh dong!” tutur Sofi dengan wajah yang merah seperti tomat.
“Memang kenyataannya kok, buktinya bajumu bau
busuk.” balasku dengan sedikit menaikkan alis sebelah kiri.
“Pokoknya bau busuk itu bukan berasal dari bajuku.”
ujar Sofi yang sepertinya mau menjatuhkan butiran-butiran kristal itu dari
matanya.
“Ha… ha… ha, mana mungkin kamu mau mengaku.” ucapku
dengan nada yang agak sedikit mengejek.
“Terserah kamu deh, mau percaya padaku atau tidak.
Dasar nenek sihir!” kata Sofi sembari mengusap butiran-butiran kristal yang tak
terasa telah membasahi pipinya.
Karena kejadian itu, aku dan Sofi pun bertengkar.
“Teng… teng… teng…” bel tanda pulang sekolah pun
berbunyi. Aku pun segera pulang ke rumah dengan berjalan kaki.
Sesampai di rumah, kuganti baju lalu makan siang dan
tidur.
T
ak terasa hari sudah menunjukkan sore. Aku pun
segera mandi.
“Aku jahat sekali ya, sudah menuduh Sofi
sembarangan, padahalkan belum ada buktinya.” kataku dalam hati sambil menyadari
semua kesalahanku.
Hari telah menunjukkan pukul 19.00 Wib, waktunya
untuk belajar. Aku bergegas ke kamar dan menyusun jadwal pelajaran untuk esok
hari. Saat baru membuka tasku, tercium bau yang tak sedap.
“Seperti bau busuk yang di sekolah tadi.” ungkapku
dalam hati.
Aku mulai penasaran asal bau busuk itu. Setelah
mengeluarkan seluruh isi tas, aku pun menemukan asal bau busuk itu. Ternyata
bau busuk itu berasal dari topiku yang terkena bakwan basi pada minggu lalu.
Aku pun terdiam dan mulai berpikir, ternyata aku telah salah menuduh Sofi,
rupanya bau busuk itu berasal dari topiku.
Esok harinya aku berangkat ke sekolah. Di sekolah
aku melihat Sofi sedang menyapu kelas. Kulemparkan senyuman padanya, namun ia
malah membuang muka. Ternyata dia masih marah padaku. Aku berusaha untuk
meminta maaf padanya dengan cara mendekatinya, namun ia selalu saja pergi saat
aku menghampirinya.
Sudah 5 hari aku berusaha untuk meminta maaf
padanya, namun tak pernah berhasil. Hari demi hari kulalui dengan rasa bersalah
yang amat dalam. Akhirnya ku temukan ide untuk meminta maaf padanya, yaitu
dengan memberinya sepucuk surat dan coklat.
Selang sehari, akhirnya suratku dibalas oleh Sofi.
Ia menerima permintaan maafku dengan syarat apabila aku tidak mengulangi
kesalahan itu lagi, dan akhirnya kami pun kembali berteman dan malahan semakin
akrab saja.
Keesokan harinya aku mengajak Sofi untuk bermain di
taman sambil menikmati indahnya sinar keemasan si kulit bundar.
“Fi, lihat deh indah banget ya sinar matahari itu.
Aku sangat terpesona padanya.” ucapku
“Iya nih, aku juga sangat senang melihat sinar
matahari pada sore hari.” jawab Sofi
“Lihat deh, disana ada pohon besar yang sangat
indah. Ayo kita ukir nama kita pada batang pohon itu, agar persahabatan kita
tidak pernah pudar dan tetap abadi.” kataku sambil mengambil 2 buah paku yang
berada di dekat kami untuk mengukir batang pohon itu.
“Ide kamu bagus juga.” jawab Sofi setuju.
Nama kami pun terukir indah di batang pohon itu.
Selesai mengukir, kami berjalan-jalan di dekat
sebuah kolam yang agak dalam. Entah mengapa, tiba-tiba Sofi terperosok masuk ke
dalam kolam itu.
“Tolong-tolong aku tenggelam.” teriak Sofi keras
sambil berusaha menjaga kepalanya agar tetap berada di atas permukaan air.
Kemudian tanpa pikir panjang aku langsung masuk ke dalam kolam itu dan berusaha
menolong Sofi. Kudorong badannya dengan sekuat tenaga agar ia bisa keluar dari
kolam itu, namun tak kusadari perlahan-lahan tubuhku terdorong masuk ke dalam
lumpur yang lengket. Akhirnya Sofi bisa keluar dari kolam itu, namun malah aku
yang tak bisa menyelamatkan diri, karena tubuhku telah terdorong masuk ke dalam
lumpur.
Karena melihat keadaanku yang sudah lemas dan hampir
tenggelam, maka Sofi memanggil orangtuanya, karena kebetulan rumahnya sangat
dekat dari taman. Namun saat Sofi dan orangtuanya tiba, kepalaku sudah tak
kelihatan lagi di atas permukaan air. Aku sudah tenggelam karena terjebak di
lumpur yang dalam. Kemudian dengan sigap ayah Sofi mencariku di dalam kolam.
Akhirnya aku ketemu dan langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Setelah sadar, kulihat papa, mama, Shofi, om Dahlan
(papa Shofi), dan tante Nuri (mama Shofi) berdiri memperhatikanku yang
berbaring diatas tempat tidur. Setelah melihatku sudah sadar, Sofi pun langsung
berbicara kepadaku.
“Makasih ya atas pertolonganmu tadi” ungkap Sofi
sambil mengusap air mata yang telah membasahi pipinya yang imut itu.
“Iya sama-sama.” jawabku sambil tersenyum simpul
kepadanya.
“Aku mau bertanya satu hal padamu. Mengapa sih kamu
tadi rela mengorbankan nyawamu demi aku?” tanya Sofi penasaran. Kemudian aku
pun menjawab pertanyaan Sofi dengan satu kalimat.
“Karena kita sahabat” jawabku sambil tersenyum.
Kemudian kami berdua pun saling berpelukan dan meneteskan air mata haru
2. A Story of Friendship
Nadia menutup pintu kamar mandi. Ia memutar
badannya, lalu berjalan menuju tempat tidur yang berada beberapa langkah di
hadapannya.
“Hai, kamu sudah bangun.” Ucap Nadia kepada seorang
gadis yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. Gadis itu diam, ia hanya
tersenyum samar.
“Tadi Mama kamu pulang, katanya mau ngambil baju
ganti buat kamu. Ya, paling bentar lagi balik, soalnya sudah sejak tadi.” Ucap
Nadia sambil duduk di atas kursi yang berada di samping tempat tidur.
“Oh ya, laper nggak? Kalau laper, sarapan dulu.”
Nadia mengambil semangkuk bubur yang berada di atas meja. Gadis itu masih diam,
ia memandang sayu ke arah semangkuk bubur tadi, kemudian ia memandang Nadia
dengan sayu.
Nadia menarik napas panjang. “Cuma sarapan Ya, kalau
habis sarapan kamu nggak mau minum obat juga nggak papa.” Ucap Nadia memandang
gadis di hadapannya dengan lekat. Gadis di hadapannya itu tak merespon.
“Ya sudah deh, kalau nggak mau.” Ucap Nadia sambil
mengembalikan semangkuk bubur tadi ke tempat semula.
“Kita jalan-jalan aja yuk.” Ucap Nadia mengajak
gadis di hadapannya. Gadis itu menatap Nadia dengan sayu. Dua bola matanya
seolah mengatakan sesuatu. Ia kemudian memandang ke arah kursi roda yang berada
di sudut kamar ini, ia memandang kursi roda itu dengan tatapan penuh kebencian.
Gadis itu kembali memandang Nadia dengan pandangan seolah merasa sangat
bersalah.
Nadia menatap kedua bola mata gadis di hadapannya
itu. “Saat kamu mulai jalan dengan tertatih, aku selalu siap buat memapah kamu.
Dan disaat kamu harus duduk di kursi roda, aku juga akan selalu siap mengantar
kamu kemanapun kamu ingin. Kamu masih merasa nggak enak sama aku? Merasa
ngrepotin? Apa dalam persahabatan itu ada rasa hutang budi? Apa dalam
persahabatan itu ada perasaan sungkan? Buat aku, nggak akan pernah ada kata
“ngrepotin” dalam persahabatan yang aku jalin sama sahabat-sahabat aku,
termasuk kamu Ya.” Nadia menelan ludahnya.
Mereka berdua diam. Diam beberapa menit. Sibuk
dengan pikiran masing-masing. Saling menatap kosong ke arah depan mereka.
“Apa masih ada hari lagi buat aku?” Tanya gadis tadi
kepada Nadia. “Apa masih ada hari buat kumpul bareng teman-teman, buat ngebanggain
Papa sama Mama. Buat terus sama kamu Nad?” Sambungnya.
“Masih ada. Dan akan selalu ada.” Ucap Nadia
optimis, ia tersenyum manis pada gadis berwajah oriental tersebut.
“Apa masih ada natal tahun depan? Apa kita masih
bisa menghias pohon natal bareng-bareng? Apa kita masih bisa ngajar anak-anak
yang ngaji di Masjid? Apa kita masih bisa ngajari mereka matematika dan bahasa
inggris?”
“Gimana…” Gadis bermata sipit itu menelan ludahnya.
“Gimana kalau aku pergi duluan? Apa Tuhan akan mempertemukan aku sama kamu
besok?”
Duggg!!! Mendengar pertanyaan gadis itu, seolah ada
yang menghantam jantung Nadia dengan sangat keras.
Nadia membungkukkan tubuhnya. Ia dekatkan wajahnya
dengan wajah gadis itu. Ia elus dahinya dengan lembut.
“Aku atau kamu yang pergi duluan, kita akan ketemu
lagi kok besok.” Ucap Nadia lembut.
“Apa mungkin, Tuhan akan mempertemukan kita berdua?”
“Natalia. Nggak ada Tuhan yang jahat. Tuhan kita
semua baik. Aku yakin, besok, kalau kita sudah sama-sama pergi dari dunia ini.
Yesus dan Allah akan mempertemukan kita. Mereka, akan bekerja sama, untuk
mempertemukan kita kembali. Karena, Mereka sayang kita, seperti kita menyayangi
Mereka.” Ucap Nadia dengan perasaan yang penuh keperihan.
Gadis yang dipanggil “Natalia” tadi mengangkat
tubuhnya, mencoba untuk duduk. Ia menutup matanya. Setetes air bening mengalir
dari balik kelopak matanya yang tertutup.
“Hei, jangan nangis dong. Sudah berapa kali aku
bilang? Jangan pernah nangis gara-gara penyakit kamu, itu artinya, kamu
membiarkan kamu kalah oleh penyakit ini.” Nadia mengusap kedua pipi Natalia
dengan lembut, menghapus air mata yang membasahi pipi gadis di hadapannya.
Natalia diam, mencoba mengatur napasnya. Mencoba
untuk tak menangis di hadapan Nadia. Ia memandang kosong ke arah lukisan yang
berada di kamar rumah sakit.
Nadia memandang Natalia dengan perasaan perih.
Seolah ia tahu apa yang saat ini tengah dirasakan dan dipikirkan Lia.
“Lia. Kalau kamu benar-benar nggak kuat, nangis saja!
Nggak papa kok kalau kamu mau nangis.”
Natalia memejamkan matanya. Tangisnya pecah. Ia
menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tanpa berpikir, Nadia segera memeluk
gadis bermata sipit itu.
“Nangis yang puas, kalau itu bisa bikin kamu lega.”
Ucap Nadia mencoba menahan air matanya yang telah memenuhi kelopak matanya agar
tak terjatuh membasahi pipinya.
“A.. A… Ku, say..sayang kamu. Kenapa sih saat orang
kaya kamu datang di kehidupan aku, justru aku yang akan pergi dari kehidupan
kamu?” Natalia tak sanggup mengontrol emosi jiwanya. Air matanya menetes
membasahi bagian belakang jilbab putih yang Nadia kenakan.
“Aku juga sayang sama kamu. Kalau penebusan dosa itu
ada, kamu nggak perlu khawatir. Karena aku yakin Tuhan akan membiarkan kamu
masuk ke dalam surga-Nya. Dan meskipun kita nggak bisa ketemu lagi. Aku yakin
kamu nggak akan merasa sedih, dan mungkin kamu sudah lupa sama aku. Karena di
surga itu hanya ada kebahagiaan Ya. Dan kamu akan terus merasa bahagia saat
kamu berada di sana, meskipun sekarang kamu merasa takut dan sedih kalau kita
nggak bisa ketemu lagi, tapi di surga nanti, kamu akan melupakan kesedihan
itu.” Ucap Nadia sambil mengusap air matanya yang telah berhasil membasahi
kedua pipinya.
Dear Beloved Best Friend
Josephine Natalia Veronica
Sesungguhnya, hanya ada satu Tuhan di sepanjang
masa. Hanya ada satu agama yang paling diakui Tuhan di kehidupan ini. Dan hanya
ada satu hal yang dapat mempersatukan perbedaan: Cinta di antara dua atau lebih
orang yang saling menyayangi dan mengasihi.
Sampai kapanpun dan apapun yang dikatakan
orang-orang tentang persahabatan ini. Aku tak akan pernah memperdulikannya, dan
kamu Natalia, ku harap, kamu juga nggak akan pernah memperdulikan itu.
Karena matahari dan bumi berbeda, namun mereka
saling menaungi dan melengkapi. Karena api dan tanah berbeda, namun api itu tak
akan ada bila sesuatu yang berada di dalam tanah tak ada.
Meski Tuhanku satu dan Tuhanmu tiga. Meski aku hanya
mengakui satu Tuhan dari Tuhanmu. Namun aku dan kamu seperti matahari dan bumi.
Seperti tanah dan api.
Apapun yang orang-orang katakan tentang persahabatan
ini. Aku tak peduli. Dan ku harap kamu juga tak peduli. Sampai kapanpun dan
bagaimanapun juga. Kamu dan aku, tetap sahabat. Dan kamu, sebagai sahabat
terbaikku. Sekalipun Tuhanmu dan Tuhanku memikirkan sesuatu tentang
persahabatan kita, aku tak peduli!
Dan bila esok aku tak mampu masuk surga, dan kamu
telah berada di dalamnya. Sampaikan kata maafku untuk Tuhan, bila ternyata aku
memilih Tuhan yang salah. Namun bila aku yang masuk surga dan Tuhan tak
mengizinkanmu, aku akan berkata pada Tuhan, “Tolong ringankan siksanya Tuhan.
Karena aku menyayanginya. Bukankah Kau meyayangiku? Sebagaimana Kau menyayangi
Muhammad? Bukankah Kau meringankan siksa orang yang paling ia cintai?” Dan aku
yakin, Tuhan akan mengabulkan permohonanku. Karena kamu, tak pernah membuatku
untuk meninggalkan dan melupakan Tuhanku. Seperti Abu Thalib yang tak pernah
membuat Muhammad saw meninggalkan, melupakan, dan berhenti setia kepada
Tuhannya.
Aku dan kamu, seperti Muhammad saw dan Abu Thalib.
Selamanya.
3. Kenapa Harus Mencuri?
“Assalamualaikum Bang Doni! Ini Maul, bang!”
Maulana berteriak memanggil Bang Doni, pemilik
counter pulsa yang berada di depan Rumah Sakit Harapan Indah. Counter pulsa itu
buka 24 jam dan di pagi buta Maulana sudah datang membawakan kue-kue buatan
ibunya untuk dijual di sana. Hal itu memang merupakan kegiatannya setiap hari.
Karena ia hanya hidup dengan ibunya semenjak ditinggal sang ayah untuk
selama-lamanya.
“Wa’alaikum salam, iya sebentar”, Bang Doni yang
masih memakai sarung menghampiri Maulana yang sudah 5 menit menunggu di depan.
“Yah bagaimana sih bang, tokonya nggak dijaga
begini”, kata Maulana berbasa-basi, sambil meletakkan keranjang berisi kue-kue
di atas meja panjang yang terbuat dari kaca itu.
“Abang tadi baru selesai sholat subuh, maaf ya kalau
lama”, kata Bang Doni sambil memindahkan keranjang kue tersebut.
“Saya nitip kuenya ya, bang”, kata Maulana sebelum
pergi.
“Sip, belajar yang benar ya!”, Bang Doni menepuk
kepala Maulana dengan lembut sebelum anak itu melanjutkan perjalanannya ke
sekolah.
Maulana melangkahkan kakinya yang hanya dibalut
dengan sepatu yang sudah ditambal berkali-kali. Kaus kakinya pun sudah mulai
kendor dan berwarna kekuningan. Ia memang berasal dari keluarga yang kurang
mampu. Namun ia tetap bersemangat pergi ke sekolah pagi itu.
Begitu sampai di kelas, ia melihat beberapa teman
sekelasnya berkumpul di tempat duduknya dengan Sabam. Ia berjalan mwnuju tempat
duduknya itu.
“Wah keren, Sabam sudah punya handphone! Ah nanti
aku minta ke mama ah!”, seru salah seorang murid yang meninggalkan tempat itu.
Sabam melihat wajah Maulana di antara wajah
teman-temannya yang mengerubunginya itu.
“Mauul!! Eh minggir, sobatku sudah datang!”, Sabam
segera berdiri dan menyapa sahabatnya itu.
Seketika anak-anak yang tadi berkumpul di tempat
mereka langsung pergi. Maulana menaruh tasnya di atas kursi. Teman sekolahnya
memang kebanyakan anak orang kaya. Namun tidak cukup baik untuk mau berteman
dengan anak orang miskin. Berbeda dengan Sabam yang menerima Maulana apa adanya
sebagai temannya
“Katanya kamu baru dibelikan handphone baru ya,
Bam?” tanya Maulana.
“Ah handphone jelek saja kok!”, kata Sabam merendah.
Sabam segera memasukkan ponsel barunya itu ke dalam
tas ketika temannya selesai meminjam benda tersebut. Ia memang tidak suka
pamer, apa lagi di depan Maulana. Kehebohan tadi pun terjadi hanya karena ada
salah seorang murid iseng yang tak sengaja melihat Sabam menelepon dengan
handphone barunya itu lalu ia memberi tahu murid-murid yang lain mengenai
handphone baru itu. Untuk ukuran murid kelas 4 SD seperti mereka saat itu,
mempunyai ponsel merupakan hal yang sangat hebat.
Maulana membayangkan andaikan dirinya bisa seperti
Sabam. Andai saja ia terlahir di keluarga kaya. Ia pun tidak perlu menjual kue
dan repot-repot menjualnya. Belum lagi sekarang ibunya sedang sakit-sakitan.
Sejujurnya ia merasa miris melihat keadaan ibunya di rumah, Sudah beberapa hari
pula ia tidak menggunakan uang sakunya untuk makan di sekolah agar bisa
menabung untuk membeli obat untuk ibunya.
Waktu itu, sempat sekali ibunya pergi ke dokter.
Namun ternyata tagihannya sangatlah mahal. Terpaksa uang mereka untuk makan
sebulan habis begitu saja. Sejak itu, ibunya tidak mau lagi pergi ke dokter.
Maulana tidak pernah menceritakan masalah itu pada siapapun, termasuk Sabam
sahabat baiknya. Ia tahu bahwa ibu Sabam adalah seorang dokter namun ia cukup
tahu diri untuk tidak meminta apapun darinya. Ia selalu mengingat perkataan
ayahnya, “Biarpun kita miskin, kita tidak boleh meminta-minta pada orang lain”
Sore harinya, Maulana kembali mendatangi counter
pulsa Bang Doni. Ia ingin mengambil keranjang kue yang dititipkan tadi pagi.
“Ini Ul, uangnya. Hari ini kue nya habis loh!”, kata
Bang Doni sambil menghitung uang yang terkumpul lalu memberikannya pada
Maulana.
“Terima kasih”, Maul kembali menghitung uang yang
diberikan. Mengalikan harganya dengan jumlah kue yang ada lalu membagi dua
puluh persennya untuk Bang Doni.
“Bang ini kelebihan kayaknya”, ujar Maulana.
“Hari ini abang nggak ambil untung. Buat kamu saja”,
jawab Bang Doni sambil menaikkan kedua alisnya dan tersenyum.
“Terima kasih banyak, bang!”, Maulana tersenyum
senang lalu mengamankan uang tersebut di dalam tasnya.
“Bang aku boleh duduk di sini sebentar, kan? Capek
banget”, kata Maulana sambil merenggangkan kakinya.
“Iya, silakan”
Maulana duduk menghadap jalan raya. Di hadapannya
berdiri sebuah rumah sakit. Mobil-mobil mewah keluar masuk rumah sakit
tersebut. Maulana menundukkan wajahnya, ia berpikir mengapa dunia begitu tak
adil, mengapa jaminan kesehatan hanya dimiliki orang-orang berkantung tebal
saja.
Ia segera sadar dari lamunannya saat seseorang
memberhentikan motornya di depan counter pulsa itu. Orang itu memakai jas motor
dan bertubuh tinggi besar. Ia melepas helmnya lalu duduk di atas salah satu
kursi di sebelah Maulana.
“Ada yang bisa dibantu, pak?”, tanya Bang Doni.
“Saya mau jual handphone”, kata orang itu sambil
meletakkan handphone nya di atas meja kaca itu. Bang Doni mengambilnya dan
memerhatikan keadaan fisik benda tersebut. Sementara itu Maulana hanya
mendengarkan percakapan tersebut walau sebenarnya ia tidak mengerti apa yang
dibicarakan. Hingga akhirnya handphone milik bapak-bapak itu Bang Doni masukkan
ke dalam meja kaca. Bapak-bapak itu pun mendapatkan sejumlah uang lalu kembali
pergi dengan motornya. Uang yang didapat juga cukup banyak.
“Kok abang ngasih uangnya banyak banget?”, tanya
Maulana.
“Tadi handphonenya masih bagus, keluaran terbaru
pula. Makannya harganya masih mahal juga”, jelas Bang Doni.
“Oh begitu ya, bang”, Maulana mengangguk.
Akhirnya ia pun memutuskan pulang dan meninggalkan
counter pulsa itu. Dalam perjalanan, ia memikirkan kejadian tadi. Tiba-tiba ia
teringat akan handphone baru milik Sabam.
“Kalau handphonenya masih baru dan bagus, harganya
mahal pula”, kata Maulana dalam hati.
Tiba-tiba ia menghentikkan langkah kakinya.
“Astagfirullah, Maul.. Aku mikir apa sih? Nggak
mungkin kan aku menjual handphone Sabam! Itu sama saja dengan mencuri!”,
Maulana menepuk dahinya.
Ia beristigfar berkali-kali untuk membuang pikiran
negatifnya tersebut jauh-jauh.
Hari-hari pun berlalu, kini Maulana harus berjuang
lebih keras lagi mengingat penyakit ibunya yang semakin parah. Mau tidak mau
Maulana belajar cara membuat kue sendiri. Paling tidak pekerjaan ibunya semakin
ringan dengan bantuannya. Kalau tidak bekerja sama sekali, akan makan apa ia
dan ibunya?
Tetapi tidak pernah sekalipun Maulana menunjukkan
wajah lelah dan kesal di depan ibunya. Pagi itu, Maulana sarapan bersama ibunya
di kamar.
“Sudahlah, Ul, tidak perlu bantu ibu buat kue lagi.
Nanti kamu capek. Lebih baik kamu banyak belajar supaya nanti dewasa bisa jadi
orang kaya. Tidak seperti orangtuamu”, kata wanita berwajah pucat itu.
“Ibu kan sakit, Maul nggak bisa bantu banyak buat
ibu berobat. Makanya Maul mau membantu ibu apa saja. Lagipula Maul senang kok
sekarang bisa masak kue!”, kata Maulana sambil tertawa.
Ibunya hanya bisa tersenyum. Ia merasa seperti
wanita paling beruntung di dunia bisa memiliki anak sebaik Maulana. Memang ia
tidak bisa memberikan banyak hal materil pada anaknya itu, tetapi doanya
sebagai seorang ibu tidak pernah berhenti dicurahkan. Harapannya satu, ingin
melihat Maulana hidup bahagia di masa depannya nanti.
Hari itu, Maulana pulang paling terakhir. Ia dihukum
membersihkan kelas karena lupa mengerjakan PR. Akhir-akhir ini ia memang sangat
sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai “tukang kue”. Sabam tidak bisa
menemaninya karena harus pergi les.
“Loh ini kan..”, Maulana melihat sebuah handphone
tertinggal di dalam kolong meja mereka.
“Handphone nya Sabam ketinggalan!”, Maulana berseru
sambil memerhatikan handphone tersebut yang memang kepunyaan Sabam.
Yang Maulana pikirkan saat itu adalah segera
mengembalikannya. Namun rumah Sabam jauh sekali dari sekolahnya. Tidak mungkin
ia pergi ke sana sendirian tanpa ongkos naik bis. Ia pun memutuskan membawa
pulang handphone tersebut terlebih dahulu.
Maulana kembali mendatangi counter pulsa Bang Doni
untuk mengambil hasil jualan kuenya. Hari itu keuntungan yang didapat tidak
begitu besar. Ketika uangnya sudah diberikan, Maulana masih belum meninggalkan
tempat tersebut.
“Bang Doni”, panggil Maulana.
“Iya, Ul?”,sahut Bang Doni.
Maulana menengok ke arah kanan dan kirinya. Tiba-tiba
ada rasa penasaran di dalam hatinya untuk mengetahui berapa harga handphone
milik Sabam yang ia bawa.
“Bang, kalau handphone seperti ini dijual jadi
berapa?”, tanya Maulana sambil mengeluarkan handphone tersebut dari kantung
celananya.
“Wah, sejak kapan kamu punya handphone, Ul?”, Bang
Doni menerima handphone tersebut dan memerhatikan handphone tersebut.
“Bu-bukan handphone aku itu! Punya temanku
ketinggalan di sekolah tadi”
“Oh begitu. Kalau ini dijual harganya bisa sekitar
lima ratus ribu”, kata Bang Doni lalu mengembalikan handphone tersebut.
“Lima ratus ribu?”, ulang Maul. Tidak pernah Ia
memegang uang sebanyak itu seumur hidupnya. Ia teringat akan ibunya di rumah.
Lima ratus ribu sudah pasti cukup untuk biaya berobat ibunya.
“Iya, lima ratus ribu”, Bang Doni mengiyakan.
“Ya sudah aku cuma tanya aja kok bang. A-aku duluan
ya, permisi”, Maulana segera membawa keranjang kuenya dan pulang ke rumah.
Malam itu Maulana habiskan dengan mengerjakan
tugas-tugasnya. Sesekali matanya melirik pada sebuah ponsel yang ia letakkan di
atas tempat tidurnya. Seketika melihat ponsel itu, yang ia ingat adalah uang
sebesar lima ratus ribu yang bisa ia dapat dengan mudah.
“Kalau dipikir-pikir, Sabam kan orang kaya. Pasti ia
bisa beli lagi handphone seperti itu, bahkan yang lebih bagus dari itu”, gumam
Maulana.
Tiba-tiba handphone itu berbunyi dan mengagetkan
Maulana. Ia segera melihat siapa peneleponnya.
“Mama? Eh jangan-jangan ini mamanya Sabam yang
telepon!”, Maulana mulai panik, ia menutupi ponsel itu dengan bantal agar
suaranya tidak berisik.
Lama-lama suara itu tak terdengar lagi dan Maulana
kembali mengerjakan tugasnya. Entah apa yang ada dalam pikirannya malam itu
sehingga ia memutuskan untuk menjual handphone itu esok hari. Toh Sabam tidak
tahu kalau handphone itu ada pada dia.
“Dasar maling! Aku nggak nyangka kamu setega itu,
Ul!”, bentak Sabam penuh amarah.
“Tu-tunggu Bam!”, Maulana berusaha menjelaskan apa
yang terjadi.
Teman-teman sekelasnya mencibir dan menjauhi
dirinya.
“Makanya aku nggak pernah mau berteman dengan orang
miskin. Orang miskin itu pasti maling!”
“Eh Maul, kalau miskin mendingan nggak usah sekolah
di sini saja! Sana kerja saja jadi kuli bangunan hahahahaha!”
Maulana menutup telinganya. Ia tidak kuat mendengar
cemooh dan hinaan yang memang pantas ditujukan padanya. Ia pun berlari keluar
kelas. Semua orang di sekolah yang melihatnya menatapnya dengan tatapan aneh
dan penuh kebencian. Air mata mulai membasahi pipinya saat ia berlari keluar
dari gerbang sekolah. Yang ia tahu, ia hanya berlari dan berlari hingga ia
sampai di depan rumahnya yang pintunya terbuka. Ibunya masih sakit-sakitan
padahal sudah dibelikan obat, namun tidak setetes pun obat itu yang ibunya sudi
minum. Maulana merasakan sakit yang teramat sangat di hatinya. Ia membuka pintu
kamarnya dan melihat seseorang yang sudah lama tak ia lihat. Tanpa ia sadari,
air matanya terus berjatuhan.
“Bapak!”, Maulana berlari ingin memeluk bapaknya
itu.
“Pak, Maul takut, pak. Semua orang benci Maul”,
Maulana menangis di dalam pelukan ayahnya. Ayahnya tidak menjawab apa-apa namun
ia mengelus kepala anaknya itu.
“Maul.. kamu lupa ya pesan bapak?”
“Pesan?”
“Biarpun kita miskin, kita tidak boleh berbohong.
Biarpun kita miskin, kita tidak boleh meminta-minta. Biarpun kita miskin, kita
juga tidak boleh mencuri”, kata ayahnya dengan lembut.
Hatinya bergetar hebat ketika mendengar perkataan
itu hingga air matanya tak terbendung lagi.
Maulana terbangun dari mimpi anehnya malam itu.
Pakaiannya basah dengan keringat. Nafasnya pun terengah-engah. Ia melihat
handphone milik Sabam masih ada di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya.
Tak sadar, air matanya pun menetes. Ia menyesal pernah berniat menjual benda
yang bukan miliknya itu. Segala kejadian buruk di dalam mimpinya itu membuat
dia amat ketakutan hingga ia terbangun dari mimpinya. Ia pun kembali sadar
bahwa ia tidak dapat lagi memeluk ayahnya seperti di mimpinya itu. Maulana
melihat jam yang masih berdetak di dinding kamarnya. Waktu menunjukkan pukul 12
tengah malam. Hatinya merasa terpanggil untuk segera meminta ampun kepada
Allah. Dengan wajah yang masih basah dengan air mata, Maulana pergi mengambil
wudhu dan melakukan sholat malam di kamarnya.
Maulana sengaja datang lebih awal ke sekolah pagi
itu. Tepat seperti dugaannya, Sabam sudah datang terlebih dahulu. Wajah
temannya itu terlihat kusut dan Maulana tahu penyebabnya.
“Ul, handphone ku hilang waktu pulang sekolah. Kamu
lihat gak, Ul?”, tanya Sabam dengan wajah melas.
“Oh itu. Kemarin aku menemukannya di kolong meja
kita. Karena takut hilang, aku bawa pulang. Ini kok aku bawa!”, jawab Maulana
segera membuka tas sekolahnya.
Wajah Sabam berubah menjadi cerah kembali. Sebuah
senyuman tersungging di bibirnya saat melihat handphone yang ia cari itu masih
ada.
“Syukurlah ternyata ada sama kamu ya Ul. Terima
kasih banyak! Kalau nggak ada kamu pasti handphone ku sudah hilang!”, Sabam
menjabat tangan Maulana berkali-kali dan mengguncang bahu temannya itu.
Hati Maulana serasa penuh ketenangan. Ia tersenyum
dan menjawab singkat ucapan terima kasih dari temannya itu. Ia menaruh tasnya
di kursi sebelah Sabam.
“Maulana, kamu kenapa? Kayaknya kamu lagi ada
masalah ya?”, tanya Sabam tiba-tiba.
Maulana tertegun.
“Akhir-akhir ini kamu jadi sering dimarahin guru dan
nggak konsen kalau di kelas. Memangnya ada masalah apa sih, Ul? Ayo cerita aja,
kita kan teman!”, Sabam menepuk pundak Maulana seolah semakin memaksanya untuk
bercerita.
“Sebenarnya aku sedang bingung. Ibuku sedang sakit
dan kami tidak punya uang. Aku tidak tega melihat ibuku seperti itu”, Maulana
akhirnya mau bercerita untuk pertama kalinya.
Sabam terdiam dan memilih lanjut mendengarkan cerita
Maulana hingga selesai.
“Kalau begitu nanti malam aku dan mamaku akan ke
rumah kamu. Ibu ku kan dokter. Siapa tau bisa membantu”, kata Sabam sambil
tersenyum.
“Ta-tapi”, Maulana seolah tidak percaya dengan
perkataan temannya itu.
“Sudah, nggak usah sungkan! Ini sebagai balas budiku
karena kamu sudah mengembalikan handphone-ku!”, kata Sabam.
Tak pernah Maulana sebahagia itu dalam hidupnya. Di
malam hari, Sabam beserta orangtuanya benar-benar datang ke rumah Maulana.
Akhirnya ibunya pun dapat berkonsultasi langsung dengan dokter dan mendapatkan
obat agar bisa lekas sembuh. Maulana amat bersyukur telah membatalkan niat
buruknya waktu itu. Ternyata kejujuran tidak akan pernah membawa kehancuran.
Justru kebohongan lah yang akan menjerumuskan diri ke dalam kesengsaraan. Sejak
itu, Maulana dan Sabam pun menjadi sahabat karib.
0 komentar:
Posting Komentar