Pages

Kamis, 27 November 2014

Sekilas Kisah Sang Guru



Sekilas Kisah Sang Guru
Sebut saja namanya Queenta, Queenta kecil yang hidupnya masih meniru orang-orang yang berada di lingkungannya atau dalam istilah sosiologinya game stage. Seorang anak kecil yang memerlukan pendidikan yang luas, ajaran moral yang baik ini hidup di pesisir pantai yang kebanyakan orangnya berwatak keras.
Rumah yang sederhana dan ajaran moral yang baik dari orangtuanya kini membuatnya selalu berpikir dalam setiap tindakannya
“Queenta…” panggil temannya, dia langsung menjawab dengan senyuman di pagi hari dengan semangat dan seragamnya yang rapi serta tas gendongan yang melekat di punggungnya
“zam… Kita main air yuk… Sambil nyari keong di pantai” ajak salah satu temannya
“entar lah… Ku ingin sekolah dulu.” tolak Queenta yang langsung bergegas meninggalkannya.
“Quentaaa…!!! Seruan main air di pantai dari pada berangkat ke sekolah tau…” bujuknya sambil memonyongkan kedua bibirnya. Queenta tak menyahut omongnnya sama sekali dia tetap acuh dan melanjutkan niatnya.
Setiap hari ajakan tersebut sering didengarnya dan tolakan selalu dilontarkannya dengan tuturan yang sopan, orangtuanya mengajarkannya dengan norma dan nilai yang baik serta menyarankannya untuk semangat mencari ilmu. Karena didikan didikan orangtuanya kenaikan kelas 3 SD Queenta meraih peringkat pertama hatinya begitu bahagia. Di perjalanan pulang dari sekolah menuju rumah dia mendendangkan lagu
“kasih abah dan umi kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hannya member tak harap kembali…
Bagai sang surya menyinari dunia…”
Sampai di rumah dia langsung memeluk orangtuanya yang sedang membungkus tempe dagangannya
“abah… Umiii Queenta dapat peringkat satu.” soraknya gembira. Abahnya hanya terdiam. Berbeda dengan uminya yang langsung menerima sodoran raportnya
“hemz… Bagus.” puji umi bahagia melihat sang buah hatinya bahagia karena prestasinya.
            Dengan senyuman umi yang merekah bahagia, kini membuat Queenta bangga akan dirinya yang bisa membuat uminya bahagia. Queenta meraih kembali raport miliknya dan menyerahkannya kepada abahnya. Kemudian abah menmerimanya
“abah ntar tanda tangan…!!!” pintanya sesuai dengan ucapan sang guru. Abah melihat nilai anaknya satu persatu. Rata-rata nilai tersebut kebanyakan 7. Membuatnya mengangkat kedua alisnya.
“nilainya kurang memuaskan, abah gak mau tanda tangan” tolakan abahnya saat ini membuat kebahagiaannya hilang menjadi kesedihan, ingin rasanya Queenta menangis akan penolakan abahnya.
“tapi bah…!!! Queenta kan dapat peringkjat pertama.” bantah Queenta berusaha membujuk.
“Queenta… Lihat raport mu nak. Seandainya teman-teman mu memanfaatkan waktunya dengan baik, pasti teman-teman mu bisa mendapatkan nilai-nilai yang ada di raport mu. Bah gak mau tanda tangan sebelum kamu mendapatkan rata-rata nilai 9″ Itulah alasan abahnya yang selalu menginginkan anaknya untuk haus akan ilmu, untuk gigih akan mencari ilmu. Queenta mendengarkan semua kata-klata ayahnya dan meresapnya ke dalam hati.
“abah gak pernah bersyukur” kesal Queenta sembari berlari menuju kamarnya.
Di pagi hari Queenta sudah berada di pantai sembari duduk di atas butiran-butiran pasir, tangannya memegang potongan kayu kecil dan menggoreskannya di pasir sesuai dangan isi hati dan perasaannya yang kesal terhadap abah tercintanya.
“Abah jahat…” tulisan yang masih dalam proses belajar itu terhapus oleh ombak air yang mengenainya.
Sekitar jam 08.00 dia bergegas untuk kembali ke rumahnya. Sembari mengingat kata-kata ayahnya. Dan hatinya yang masih kesal setiba di rumah Queenta mencari uminya.
“umiii…” panggil Queenta uminya. Umi menoleh sembari menebarkan senyum tulusnya.
“umi… Umi aja ya yang nanda tanganin raportnya Queenta” ucap Queenta menampakan kesedihannya.
“iya Queenta umi sudah tanda tangan, Queenta yang rajin yah…!!!”
Setiap kenaikan kelas Queenta selalu meraih peringkat pertama. Dia tak mau lagi minta tanda tangan abahnya, cukup ibulah yang menggantikannya. Queenta takut karena nilainya masih ada yang dibawah 9 walaupun hanya tiga mata pelajaran saja.
Akhir sekolah SDnya, dia teramat bahagia karena nilai raportnya kini berangka 9 walaupun ada satu mata pelajaran yang berangka 8, mata pelajaran matematika. Yang dianggapnya masih terlalu susah untuk menangkapnya dan menyimpannya.
‘abah mau gak yah… Tanda tangan di raport terakhirku…?’ Pikirnya dalam hati. “akh Queenta… Abah gak mau tanda tangan sebelum nilai mu 9 semua.” Queenta teringat kata-kata abahnya
            Itulah Queenta, semua tolakan abahnya tak membuatanya pupus harapan .Malah kata-kata abahnya kini dia anggap sebagai motivasi terbesar.
“Abah Queenta mau mondok…” pinta Queenta di tengah-tengah makan malamnya yang membuat abahnya tersendak.
“hem… Bagus tuh… Tapi gak sekarang ya zam, soalnya abah belum ngumpulin uang” tolak abahnya yang menampakan kesedihan
“gak papa bah… Queenta sekolah di smpn 1 indramayu dulu.” ucap Queenta sembari berusaha menghilangkan kesedihan ayahnya.
            Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun kini Queenta menduduki kelas sembilan. Prestasi-prestasinya kini terdengar di lingkungan rumahnya yang membuat semuanya tak percaya
Queenta duduk di kelas sembilan A karna prestasinya yang baik, dia berkumpul dengan teman-teman yang statusnya bisa dianggap sebagai lawan bersaing untuk meraih gelar pelajar terbaik
            Queenta kini bisa meraih nilai yang abahnya pinta, namun ada segurat kesedihan di hatinya. “mengapa ketika nilai yang abahnya pinta namun mendapatkan peringkat kedua parallel” tanyanya dalam hati
Namun abahnya berkata “masa anak abah yang keren ini kalah dengan perempuan” respon abah yang membuatnya maju
“abah dia itu pandai” belaku
“nak… Queenta anak ku, abah ingin kamu itu semangat mencari ilmu, hilangkanlah kemalasan yang ada di dirimu, kemalasan itu perbuatan setan.
Kamu tau… Kenapa abah selalu memolak tanda tangan… karena abah itu ingin anaknya selalu merasa haus akan ilmu. Dan abah itu ingin kamu selalu belajar dan belajar walaupun kamu sudah merasa bisa. Nak… Jangan pernah menyombongkan prestasi yang telah kamu raih, karena semua itu bersifat semu.” nasehat abah yang dia catat di buku perjalannya.
Di lingkungan sekolah dia teramat dibanggakan oleh guru-guru bahkan semua murid
“Queenta, lihat tuh lawan mu itu kayanya sih memendam rasa, cie… Cie… Bentar lagi lawan akan berganti menjadi apanya…?” Canda temannya sembari menyenggol siku tanganku.
“ea… ea…” balasku singkat.
Dalam rapat OSIS SMPN 1 Indramayu yang diketuai oleh Queenta. Queenta mengadakan kumpulan di kelasnya yang akan membahas sesuatu, Queenta mulai berbicara. “assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh
Teman-temanku kali ini kita akan membicarakan salah satu dari teman kita yang lagi menyukai salah satu dari teman kita yang lagi menyukai seorang gadis yang berprestasi. Kemungkinan sebaliknya juga. Mungkin di antara mereka saling memendam” ucap Queenta memandang ke semua temannya “mau tau seseorangnya gak…?” Seru Queenta ke temannya
“mauuuu…” sahut temannya
“oke. Seseorang itu adalah aku” semua orang menyoraki. Suasana menjadi ramai
“dan seseorang yang ku cintai itu ada disini. Seandainya seseorang itu benar-benar mencintaiku. Dalam hitungan ketiga dia berdiri di depanku”
            Queenta mulai mernghitung dalam hitungan kedua sesorang itu sudah berada di hadapanya. Kini sorakan itu semakin ramai.
Dea gadis yang berkerudung, baik hati dan pendiam itu kini berdiri di depan lawan saingan belajarnya itu. Lawan kini berganti menjadi 2 hati yang disatukan dalam ikatan cinta.
Nadya mencium tangan Queenta sembari tersenyum.
Ujian telah usai Queenta tetap kalah dengan dea, mungkin semangat Queenta untuk belajar kurang dan hubungan mereka tetap baik.
Queenta yang takut dengan peraturan agama dia tak pernah bergandengan tangan, jalan berdua. Malam mingguan bersama. Dia hanya berstatus pacaran sebagai motivasi dan mempererat tali persaudaraan atau tafahum.
“dea… besok aku mau berangkat ke pondok, kemungkinan disana selama 4 tahun, karena aku memilih jurusan keagamaan.
Sok monggo jika kamu mau menunggu” pesan singkat Queenta yang dikirimkan untuk dea
“hati hati di jalan yah kak…” Ketika raport dia berikan ke abahnya, abahnya tersenyum. Dan kabar bahwa anaknya Queenta kini meraih peringkat dua parallel kini terdengar kesana kemari. Tetangganya
“hati hati di jalan yah kak…
Semoga sukses selalu…
Doa dea selalu untuk kakak…
Dengan sepenuh hati, dea selalu menunggu kakak…
Dea selalu merindukan kakak…
Jangan pernah lupakan dea…” itulah jawaban dea yang dikirimkan melalui selulernya.
4 tahun kemudian
            Gerimis hujan membasahi pondoknya, allah lah yang mengatur segalanya, takdir semua kehidupan kita telah dicatat di lauful mahfud termasuk cuaca di pagi hari ini, gerimis itu tak sekedar jatuh di area pondoknya melainkan semua keluarganya.
“hari jum’at jam 08.00 ini abah tercintanya menghembuskan nafas terakhirnya” betapa terpuruknya Queenta ketika dia mendengarkan berita kepergian ayahnya, secepat kilat semuanya terasa gelap, harapan dan impiannya kini melayang bersama hembusan angin, air mata terus mengalir membasahi pipinya bersamaan dengan seiring jatuhnya air hujan. Mungkin malaikat dan langit ikut sedih melihat air mata kesedihan mereka yang terus menerus menetes membasahi bumi.
“abah… Maafkan Queenta yang belum bisa membahagiakan abah” ucapnya di tengah isak tangisnya. Memory bersama ayahnya kini silih berganti terbayang di benaknya
“Queenta anak ku belajarlah yang rajin semangatlah mencari ilmu, hilangkanlah kemalasan dan kebodohanmu, karena semua itu sifat setan” itu lah pesan terakhir abahnya yang selalu tergiang di telinga.
“abah kenapa abah ninggalin kami, bagaimana dengan adik-adikku.”
Semenjak kepergian orang yang selalu membuatnya haus akan ilmu. Semangat yang tinggi, kini membuat Queenta sering berdiam diri di kamarnya. Senyum manisnya kini menghilang, berbagai pertannyaan yang dilontarkan temannya dia acuhkan.
“zam… Kamu mau lanjut kemana?” tanya aldi teman dekatnya “lihat tuh semua temanmu pada sibuk daftar sana sini. Katanya kamu ingin ikut beasiswa kuliah di al azhar kairo. Ingat zam.. Semua itu bisa kalau ada perjuangan. Jangan sia-siakan kesempatan ini, kun yakin kamu bisa!!” ceramah aldi yang membuat kesedihannya kembali,
iya… al makasih.” ucap Queenta singkat.
Kini air mata mengalir di pipinya lagi, dia mencoba membayang masa depannya terutama kelima adiknya.
“apakah aku harus berhenti ampai di aliyah..?, aku adalah harapan pertama ibuku untuk kelima adikku. Ya allah… Hamba menerima semua yang akan terjadi pada hamba”. Queenta mencoba menegarkan dirinya.
Lulus mak dia daftar di universitas mahad’aly di pondoknya, setelah wisuda dia berniat untuk pulang ke rumahnya karena dia tau pasti kelima adiknya sedang menunggunya. Pasti mereka mengharapkan dia bekerja oleh karena itu dia ingin minta izin ke pengasuhnya untuk boyong dengan alasan bekerja. Dengan tuturan yang lembut pengasuhnya berkata
“Queenta bukannya bekerja disini juga bisa. Ngurusin anak-anak dan ngajar (ngulang) Pengajian fikih, alquran, ilmu alat” tutur beliau
Queenta kini berdiam.
“ingat Queenta, itu semua pekerjaan mulia, yang selalu mengalir pahalanya sampai mati besok” nasehat beliau.
“tapi bah… Bagaimana dengan kelima adikku, pasti mereka sudah mengaharapkan ku bah…!!”
“Queenta, rizqi selalu allah limpahkan untuk hambanya yang sholeh seperti mu dan keluargamu nak.”
            Semenjak berbincangan singkat itu kini Queenta menerima tawaran abah pengasuhnya untuk bekerja di aliyah sekolahnya dulu.
Pendidikan kini masih ia genggam walaupun Queenta jarang tersenyum, namun semangatnya untuk mencari ilmu dan mengamalkannya luar biasa, waktunya selalu diisi dengan kegiatan yang bermamfaat ditambah lagi dia menjadi pengurus bagian inti di pondoknya yang membuatnya menjadi orang tersibuk di lingkungannya.
Panggilan akhir itu panggilan khusus untuknya, panggilan dari anak didiknya yang paling siper zuper rewel plez bawel alias class axis yang banyak lelucon. Canda gurau dari personal axis lontarkan ketika akhi Queenta mengampu pelajaran bahasa arab di tengah pelajaran melihat personal kelas axis yang anak-anaknya lagi gak mood, akhi Queenta menceritakan sebuah kisahnya dari kecil hingga beliau dewasa dan di akhir ceritanya beliau menyimpulkan kisahnya
“abah itu ingin akhi haus akan ilmu, gak pernah bosan untuk mencarinya, makanya abahnya akhi gak mau nanda tanganin raportnya akhi, walaupun akhi peringkat satu, dan abahnya akhi itu ingin anaknya berhasil dengan cara bertahap dari bawah ke atas, bukan dari peringkat pertama terus ke bawah” ucap beliau memotivasikan kami
“dan buat kalian jangan pernah bosan akan ilmu, kalian sekarang masih merasa bosan gak?” Tanya akhi kepada kami
“gak akhi…” ucap kami serempak.
“kemungkinan kalian lulus akhi masih ada disini, melihat kepergiannya kalian seraya melambaikan tangan dan berkata bye… Good bye” ucap akhi Queenta sembari memperagakan, membuat hati kami sedih karena terharu.
Semangat yang begitu luar biasa yang ada pada dirinya membuat kami menjadi ingin sepertinya.

0 komentar:

Posting Komentar